Rabu, 26 Desember 2012
My School Slideshow Slideshow
My School Slideshow Slideshow: TripAdvisor™ TripWow ★ My School Slideshow Slideshow ★ untuk Bandung. Slideshow perjalanan gratis yang menakjubkan di TripAdvisor
SISTEM PEMILUKADA LANGSUNG TELAH BERHASIL MENCIPTAKAN MASAYARAKAT MATREALISTIS.
Desentraslisasi di Indonesia dalam perspektif dinamika politik lokal telah
memasuki babak baru. Pemilihan umum kepala daerah langsung (Pemilukada Langsung)
telah menandai dimulainya era demokrasi langsung. Keberhasilan demokrasi
politik pada aras lokal ditandai dengan berlangsungnya Pemulikada Langsung
menunjukkan bahwa di Indonesia telah berlangsung sistem politik yang demokratis
dan stabil yang untuk pemerintahan yang terdesentralisasi, sistem kawal dan
imbang (cheks and balance) yang makin baik. Namun disisi lain, fakta
menunjukkan bahwa pelayanan publik masih belum dapat maksimal karena tingginya
korupsi yang justru semakin meningkat pasca Pemilukada di daerah.
KERANGKA TEORITIS.
Menurut Hill (2005:65), demokrasi memiliki asumsi menghasilkan sistem
perumusan kebijakan yang lebih partisipatif dan karena itu memberi legitimasi
yang lebih kuat terhadap kebijakan yang diambil. Tetapi proses demokrasi juga
menuntut kesiapan perumus kebijakan untuk melalui proses politik yang panjang,
untuk menggunakan keterampilan negosiasi, serta kesediaan melakukan kompromi
dengan semua pemangku kepentingan. Ini karena demokrasi mengakibatkan kecenderungan
sistem interaksi yang terpencar (divergence) dan bukannya terpusat (convergence).
Konfigurasi politik dalam Pemilukada Langsung memiliki semua ciri dasar
bagi semua demokrasi. Pemilu yang bebas dan adil, kebebasan berpendapat dan
berserikat, hak untuk memilih, adanya sumber informasi alternatif, hak bagi semua
orang untuk menduduki jabatan publik, serta kelembagaan yang memungkinkan
rakyat bisa mengontrol pemerintahan sebagai ciri-ciri demokrasi. Dalam Pemilukada
Langsung terdapat kemungkinan bahwa rakyat dan konstituen akan keliru dalam memilih pemimpin
yang tepat. Seorang calon kepala daerah yang telah menjadi figur publik dan
mampu merebut hari rakyat dengan tim kampanye yang andal mungkin akan memenangi
pemilihan walaupun sebenarnya kemampuan teknisnya sebagai manajer pembangunan
kurang baik. Tetapi dari segi akuntabilitas, Pemilukada Langsung jelas tidak
ada tandinganya dengan sistem yang lain. Perlu dicatat bahwa akuntabilitas (accountability)
secara konseptual juga berarti kemungkinan untuk melengserkan (possibility
to vote out).
Andaikata konstituen telah sadar akan kekeliruannya dalam memilih seorang
pemimpin, Pemilukada Langsung memungkinkan untuk memilih pemimpin baru yang
lebih bertanggung jawab. Demokrastisasi melalui sistem pemilihan langsung
memang tidak menjamin bahwa pilihan rakyat itu selalu tepat. Namun pemilihan
langsung memberikan sarana bagi semua rakyat untuk mengoreksinya. Pemilihan langsung
juga tidak selalu sejalan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat secara ekonomis.
Tetapi dalam jangka panjang pemilihan langsung adalah satu-satunya cara untuk
meningkatkan kualitas hidup rakyat karena dua asas utama, yaitu asas
persetujuan rakyat (principle of consent) dan asas persamaan sebagai
warga negara (principle ofequality).
Sekalipun telah terselenggara pemilu yang bebas dan adil dan kekuasaan
politik telah bergeser ke daerah, para elit politik lama masih tetap bertahan
dalam kedudukan politik administratif disemua jenjang pemerintahan. Dalam kata
lain bahwa demokrasi di Indonesia telah “dibajak” oleh para elit politik.
DAMPAK PEMILUKADA LANGSUNG
a. Dampak positif
Dampak positif dari Pemilukada Langsung adalah adanya prinsip one man
one vote yang paling mendekati azas demokrasi. Pemilukada Langsung dapat
memberi peluang lebih besar kepada masyarakat untuk mendapatkan kepala daerah
yang unggul dari segi akuntabilitas. Sejak pergantian kepada daerah, baik
Gubernur atau Bupati/Walikota, diseluruh Indonesia telah dilakukan secara langsung.
Pada tingkat lokal pemilihan kepala daerah (Gubernur, Walikota, Bupati) secara
langsung merupakan media pembelajaran politik kepada akar rumput (masyarakat)
dengan tetap menjunjung dan mengedepankan etika moral dalam berdemokrasi. Efek
dari terselenggaranya Pemilukada Langsung ini adalah masyarakat memiliki ruang
demokrasi yang luas, kepala daerah memiliki legitimasi yang tinggi, serta
adanya platform (rencana program) visi misi kepala daerah yang akan menjadi
dasar perencanaan di daerah.
b. Dampak negatif
Dalam prakteknya, Pemilukada Langsung membuat biaya yang dikeluarkan oleh
bakal calon kepala daerah menjadi sangat mahal. Hal ini dikarenakan bakal calon
kepala daerah harus memberi mahar ke parpol yang mengusung, biaya kampanye dan
kemungkinan untuk membeli suara. Dalam Pemilukada kandidat harus menyetor mahar
ke parpol tertentu untuk dapat maju ke Pemilukada dengan kendaraan parpol
tersebut. Hal ini mengakibatkan Pemilukada bukannya menyejahterakan, tetapi
semakin menyengsarakan masyarakat. Hal ini berdampak terhadap pelayanan publik
dan penyelenggaraan pemerintahan yang kurang baik dan tidak transparan.
Mengapa? Pertama, tingginya kemungkinan kepala daerah untuk mengembalikan
ongkos politik Pemilukada Langsung sebagai akibat dari money politics
(Politik uang) yang harus dilakukan selama proses Pemilukada Langsung. Upaya
untuk menarik simpati, biaya iklan, biaya mendaftar pada partai politik
langsung, menyebabkan tingginya ongkos Pemilukada Langsung bagi calon. Oleh
karena itu, untuk mengembalikan investasi politik tersebut APBD merupakan
sasaran yang paling mudah untuk mengembalikan biaya politik tersebut, melalui
pembagian sumber daya seperti pengadaan barang dan jasa.
Kedua, dengan adanya pengembalian ongkos politik melalui APBD tersebut,
dapat dibayangkan bahwa kemungkinan korupsi terhadap APBD menjadi sangat
terbuka.
Ketiga, kebijakan anggaran didesain melalui proses perumusan kebijakan yang
cenderung elitis dan ditujukan untuk memenuhi target-target politik tertentu
membuat orientasi pada kualitas layanan publik menjadi sangat kurang.
Namun dampak yang paling mengerikan dari Sistem Pemilukada Langsung adalah
sering terjadinya bentrokan-bentrokan baik yang bersifat fisik ataupun psikis
dikarenakan black campaign (kampanye hitam) dengan cara saling fitnah
dan menjatuhkan antar sesama calon, juga telah berhasil menciptakan masyarakat
yang memiliki pola pikir matrealistis, apatis dan pragmatis. Matrealistis
karena adanya startegi money politics (Politik uang) yang dilakukan oleh
para calon dan para pendukungnya untuk memenangkan suara sebanyak mungkin.
Apatis karena sudah tidak adalagi rasa percaya dari masyarakat terhadap
janji-janji para calon pada saat kampanye yang banyak sekali tidak terealisasi.
Dan pragmatis karena masyarakat sudah mulai berpikir untung rugi dalam memilih
bukan berpikir halal atau haram, benar atau tidak, dan pantas atau tidaknya
calon tersebut.
Semua ini terjadi karena tidak adanya dasar agama yang kuat dari masyarakat
untuk memfilter dampak yang kurang baik tersebut.
Senin, 29 Oktober 2012
MENGUAK KEISLAMAN SUKARNO - HATTA
Suatu pertanyaan besar yang sangat sukar menjawabnya, ialah bagaimana
Sukarno – Hatta itu dipandang dari segi agama islam dalam perjuangannya.
Kedua pimpinan itu siang-siang telah menyatakan dirinya seorang nasionalis,
yang mencintai bangsa dan cinta kemerdekaan. Sejak mulai bergerak sampai hari
proklamasi kemerdekaan, bahkan sampai mereka memegang kedudukan tinggi dalam
negara sebagai Presiden dan Wakil Presiden, tetap mengaku seorang nasionalis.
Dan harus diakui pula bahwa sejak semula baik Bung Karno maupun Bung Hatta
mengakui pula seorang Islam.
Tapi yang jelas, keduanya tidaklah orang yang lengkap ilmunya tentang
keislaman, dipandang dari segi pandangan hidup dan cara berfikitnya maupun ide
yang dianutnya, sama sekali tidaklah diwarnai oleh islam. Islam bagi mereka,
hanyalah sebagai satu agama yang hanya berlaku bagi pribadi-pribadi
penganutnya. Islam merupakan agama ibadah, penyembahan kepada Tuhan dan
pengakuan tentang adanya Tuhan itu. Adapun pengetahuan terperinci tentang agama
islam, katakanlah seperti Ilmu Hadits, Ilmu Al Quran, Ilmu Tauhid, Ilmu Fqih, Ilmu
Ushul Fiqih, Ilmu Akhlaq dan seterusnya, tidaklah dikuasai oleh mereka.
Pengetahuan dan pengertian tentang islam, tidak mudah sebagaimana dianggap
orang islam sukar juga mempelajarinya karena terlalu banyak simpang siur jalan
yang dilalui. Tidak cukup lima tahun orang belajar tentang islam sehingga dapat
disebut ulama. Paling sedikit 10 tahun bertekun di pesantren, belajar dengan
Kiyai dan Syekh.
Pendidikan pesantren, amat diperlukan bagi seorang islam, kalau ia ingin
menjadi seorang ulama, yang faham agama dari segala seginya, ya seorang muslim
sejati.
Bayangkanlah Sukarno – Hatta, yang hanya belajar sambilan saja, dalam
tempoh yang relatif singkat pula. Didalam riwayat hidupnya kita jumpai, Sukarno
baru mulai mengenal ISLAM ialah ketika berada di Endeh (dalam pembuangan),
yaitu dengan perantaraan surat-suratnya dengan almarhum A. Hasan guru Persis
yang terkenal. Kemudian setelah ia dipindahkan ke Bengkulen mulai masuk menjadi
anggota Muhammadiyah, bahkan ikut menjadi pengurusnya pula. Apakah selama di
Bengkulen Bung Karno ada menambah ilmunya tentang islam tak tahulah kita. Tapi
bagaimanapun juga , ilmunya tentang agama islam jauh berkurang dan sangat
sedikit sekali. Wajarlah kalau Sukarno kurang menghayati agama islam.
Demikian pula Hatta, walaupun ia seorang turunan ulama dan disebutkan
pernah belajar agama waktu di Bukittinggi dan mungkin pula waktu di Padang,
tapi pelajarannya itu amat masih minim sekali. Berbagai ilmu dalam islam
seperti disebutkan diatas, tidak dimilikinya.
Wajar pula lah kalau Hatta kurang menghayati pula agama islam secara
keseluruhan. Tapi seperti diketahui, dirinya sendiri sangat tekun ibadah agama.
Shalatnya amat khusyu dan lama. Ibadah ini benar-benar dihayatinya.
Tapi dalam islam bukanlah hanya shalat itu saja. Bagaimana pengetahuannya
tentang islam dengan politik, islam dengan ekonomi, dengan filsafat, dengan
kebudayaan dengan akhlak dan sebagainya? Mungkin belum banyak diketahui oleh
Hatta.
Dan berdasarkan inilah sebenarnya kita menerima pertanyaan dari kedua orang
besar itu, suatu yang aneh atau boleh dibilang gaib. Yaitu mereka tidak dapat
menerima konsep Islam tentang ekonomi. Tidak bisa menerima pemerintahan menurut
konsep islam.
Sebab islam itu dianggapnya sama saja dengan agama-agama lain, yaitu
memisahkan agama dari politik dan negara. Agama adalah untuk akhirat semata,
sedangkan politik, ekonomi, kebudyaan dan sebagainya itu, adalah untuk dunia.
Islam hanya mengurus urusan akhirat.
Inilah suatu kekeliruan pandangan. Islam tidaklah hanya mengurus dunia,
tetapi mengurus akhirat, atau sebaliknya bukan semata-mata mengurus akhirat
tapi juga mengurus dunia.
Pendirian Sukarno – Hatta bersamaan tentang tidak bisa menerima negara kita
berdasarkan islam.
Waktu Dewan Konstituante masih melakukan sidang-sidangnya membicarakan
konstitusi negara, bertempurlah dua dasar. Ada dua usul yang dimajukan untuk menjadi
dasar negara. ISLAM dan PANCASILA. Sudah tentu islam menjadi dasar negara
didukung oleh seluruh partai islam. Dan Pancasila didukung oleh partai-partai
nasional dan lainnya.
Presiden Sukarno menginginkan Pancasila. Karena itu, tanggal 5 Juli 1959, dikeluarkannyalah
Dekrit. Dekrit membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Konstituante.
Sebgaimana penggantinya dibentuk DPR Gotong royong serta MPRS (Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementera). Juga pada hari itu, Presden menyatakan kembali
kepada Undang-Undang Dasar 1945, dan diakuinya Piagam Jakarta.
Kalau Hatta masih mendampingi Sukarno, belum tentu Sukarno seberani itu
bertingkah dan menyatakan pendiriannya, main bubar itu. Membubarkan Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Konstituante dan membubarkan Masyumi dan PSI,
menyatakan Pancasila menjadi dasar negara dan mengenyampingkan saja Islam yang
didukung jumlah terbesar.
Memang, sejak dahulu sudahlah diketahui bahwa Sukarno Hatta kurang
simpatiknya terhadap islam itu. Bahkan tidak setuju sama sekali kalau Islam
dijadikan dasar negara atau masuk menjadi undang-undang negara.
Sukarno berkata di Amuntai, kalau islam dijadikan dasar negara kita, akan
pecahlah persatuan kita.
Sebab pemeluk-pemeluk agama lain tidak akan menyukainya dan menentangnya.
Pendirian Hatta pun demikian pula.
Bukankah 7 kalimat dalam Piagam Jakarta yang terkenal itu, Hatta sendiri
yang mencoretnya karena mengindahkan tuntutan dari lain agama. Tujuh kalimat
itu : “Dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya”.
Kata ini dapat dianggap berbahaya, sehingga perlu dicoret. Padahal menurut
pendapat kita, apalah bahayanya. Kewajiban menjalankan syariat islam itu, kan
hanya untuk ummat islam bukan untuk seluruh penduduk.
Yang paling janggal ialah Islamnya Bung Karno. Ia mempersatukan Islam
dengan Komunisme, padahal keduanya amat bermusuhan.
Tapi karena Bung Karno memang kurang memahami ajaran-ajaran islam, baginya
dianggap enteng saja perbedaan pendirian Islam denga pendirian Komunis itu. Yang
jelas pendirian tentang Ketuhanan, sangat tidak bisa disatukan antara keduanya.
Bagaimana bisa disatukan didalam diri seorang faham ada Tuhan dengan faham
tidak ada Tuhan. Satu faham kita harus beragama dengan faham agama adalah candu
rakyat.
Tapi mati-matian Sukarno tetap berkata Nasionalis, Islam dan Komunisme
harus bisa disatukan. Dan itulah NASAKOM yang dipuja-puja sewaktu Sukarno
berkuasa penuh di Indonesia. Ketika orde baru mulai berdiri, dibawah pimpinan
Presiden Soeharto, ada gejala Hatta diusulkan akan tampil memimpin partai baru
yaitu PARTAI SOSIALIS ISLAM. Tapi hal ini tak sampai menjadi.
Waktu itu sedang asyiknya orang memperkatakan soal partai. Masyumi ingin
direhabilitir kembali, tapi oleh Presiden yang dapat dibenarkan ialah suatu
wadah bagi ummat islam sebgai partai politik. Maka lahirlah Partai Muslimin
yang bekedudukan sebagai pengganit Masyumi yang telah dibubarkan rezim Sukarno.
Partai Muslimin inilah kemudian yang menjadi Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), sebagai penyaluran ideologi islam.
Akhirul Kalam, semenjak Hatta meninggalkan kedudukannya, terlalu banyak
peristiwa yang mengejutkan terjadi. Dan peristiwa-peristiwa itu, banyak sekali
membawa kerugian bagi rakyat dan bangsa kita.
Penulis mengira, Hatta yang sudah berusia lanjut, tentu tak mungkin lagi
diharapkan akan tampil memimpin bangsanya secara aktif.
Kalau ada sesuatu yang ingin dilakukannya dalam kegiatan politik, tentu tak
ada lagi kekuatannya. (Tamar Djaja, 1981 ; Hal. 231 – 235)
Kamis, 04 Oktober 2012
PETER CAREY : PERANG JAWA DAN CIKAL BAKAL GERAKAN KEBANGSAAN
Dok : Bedah Buku "Kuasa Ramalan ; Peter Carey" Rabu, 25 April 2012
Gedung Bale Santika Universitas Padjadjaran Jatinangor
Dok : Bedah Buku "Kuasa Ramalan ; Peter Carey" Rabu, 25 April 2012Gedung Bale Santika Universitas Padjadjaran Jatinangor
Ihwal cikal bakal gerakan kebangsaan ini disadari oleh Frans Gerhardus
Valck (1977 – 1842), seorang pejabat tinggi Belanda yang pernah berdinas di
sejumlah keresidenan di Jawa tengah-selatan selama dua dasawarsa yang mencakup masa
perang Jawa dan sesudahnya. Beginilah ia menulis pada 1840 :
“Masa tugas
(saya) selama hampir dua puluh tahun di berbagai keresidenan telah memberi saya
pelajaran bahwa semangat rakyat biasa Jawa bersifat menentang kita, bukan
karena kita orang Belanda memperlakukan dia dengan buruk tapi dia diresapi rasa
kebangsaan .......... kendati segala keuntungan yang ia dapat dari kita, ia
tidak dapat meniadakan hasrat untuk diperintah oleh penguasanya sendiri meski
mereka mungkin akan memerintah dengan lebih buruk (dari pada kita) ...... ia
terus saja melihat dalam diri kita sosok penguasa asing yang zalim, yang sangat
berbeda dengan dirinya secara moral, adat–istiadat agama, cara berpakaian, dst.
Sekadar melihat orang Eropa saja sudah mengingatkan dia akan suasana yang sarat
penghinaan (dan) ia tidak tahan untuk menatap benci dan memandang rendah
manakala ia merasa dapat berbuat demikian tanpa dihukum.”.
Valck bukan satu-satunya yang berpandangan demikian. Pengamat yang jeli, seperti
ahli hukum Willem van Hogendorp (1795 – 1838), yang bertugas sebagai pejabat
tinggi dalam pemerintahan Komisaris – Jenderal L.P.J. du Bus de Gisignies
(menjabat, 1826 – 1830) selama Perang Jawa, mengungkapkan kecemasannya dalam
surat menyurat dengan ayahnya pada tahun 1827 – 1829.
Benang merah “nasionalisme” yang anti–Belanda ini, jika disebut demikian
dalam masalah sedini itu, akan dipaparkan lebih jauh dalam Perang Jawa.
Kerawanan budaya yang merupakan dampak imperialisme Eropa yang baru pada awal
abad kesembilan belas atas Jawa tengah-selatan merupakan salah satu pokok
kajian buku Kuasa Ramalan. Selain itu, buku itu juga berusaha memberi
penjelasan atas berbagai peristiwa dari sudut pandang tokoh utamanya,
Diponegoro. Sebagai tokoh peralihan yang menentukan, ia hidup selama terjadi
perubahan dari tatanan lama Jawa abad kedelapan belas ke masa “kolonial tinggi”
yang berlandaskan revolusi rangkap di bidang politik dan industri yang mengubah
Eropa selama masa hidupnya.
Dalam banyak hal, Diponegoro yang merupakan tokoh tradisional yang secara
mendalam meresapkan nilai-nilai budaya Jawa pra-moderen, khususnya nilai-nilai
lingkungan keraton-keraton Jawa tengah–selatan, juga mewartakan masa depan.
Dalam hal ini orang merujuk penggunaan Islam Jawa yang dilakukannya, khususnya
tradisi mesianismenya, sebagai cara menempa jati diri baru bagi kaum muslim Jawa
di masa runtuhnya tatanan Jawa lama. Diponegoro hidup dalam suatu dunia yang
terpisah oleh jurang yang semakin dalam antara mereka yang siap menyesuaikan
diri dengan manfaat Eropa baru dan mereka yang memandang tatanan nilai Islami
(agama Islam) sebagai kaidah hidup dalam suatu masyarakat yang telah kehilangan
pegangan tradisionalnya.
Perang Jawa menimbulkan dorongan bagi suatu perkembangan yang masih
berlangsung dalam masyarakat Indonesia mederen dewasa ini : itulah penyerapan
nilai-nilai Islami ke dalam jati diri Jawa dan Indonesia di zamannya. Pandangan
hidup Diponegoro juga mencakup kepedulian yang khas di zamananya mengenai cara
bagaimana kaum muslim Jawa selayaknya hidup saat Barat Imperialis berkuasa.
Berbeda dari pandangan kaum muslim indonesia kini, bagi Diponegoro, Jawaban
tampaknya terletak dalam pengobaran perang suci dan pengembangan suatu
pemisahan yang tegas, yang makin nyata selama lima tahun perjuangannya, antara
wong Islam (umat Islam), orang Eropa kapir
laknatulloh, dan orang Jawa kapir murtad (yang bersekutu dengan
Belanda). Namun terdapat juga keprihatinan pribadi Pangeran yang sangat
mendalam mengenai kelestarian nilai-nilai khas Jawa yang terungkap dalam
bahasa, pakaian, dan patokan budaya, sebagaimana terpantul paling jelas pada
perlakuannya terhadap orang Belanda yang tertawan selama Perang Jawa. Pun para
tawanan Belanda waktu perang diharapkan mengenakan busana Jawa dan berbicara
kepada yang menawan mereka bukan dengan
bahasa kasar negara kolonial baru itu – “Melayu dinas” – tapi dengan bahasa Jawa
halus (krama), bahasa para petinggi keraton. Meski menetapkan busana, dan memberikan
pangkat, Turki Usmani seperti “Ali Basah” (Pasha Tinggi) buat para panglima
tertingginya, Diponegoro bukanlah pembaharu Islam. Sebaliknya, ia seorang muslim
Jawa tradisional yang tidak mengenal pertentangan antara dunia kerohanian Jawa
dan keanggotaanya dalam umat internasional yang pusat kerohanian serta budaya
politiknya adalah Hejaz (Arab saudi sekarang ini) dan Turki Usmani. Diponegoro
tidak berhasil mencapai tujuannya untuk memulihkan kebesaran agama Islam di Jawa.
Sesungguhnya, martabat dan keutuhan yang ia perjuangkan bagi umat Jawa hanya
akan tercapai secara lahiriah sembilan puluh tahun setelah ia wafat dengan proklamasi
kemerdekaan politik dari pemerintah kolonial Belanda pada 1945. Tapi, wawasan
moralnya yang lebih luas untuk memperoleh tempat terhormat bagi Islam dalam
kehidupan bangsanya, masih terus diusahakan dalam masa pertentangan global yang
tidak pernah terjadi sebelumnya, antara apa yang dianggap oleh masyarakat Islam
sebagai nilai-nilai “materialistik” Barat dan pengelompokkan beranak-pinak
dalam umat muslim dunia.
Spesifikasi Buku:
Judul : Kuasa Ramalan : Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855
Pengarang : Peter Carey
ISBN : 9789799103956
KPG : 901110489
Ukuran : 230 x 150 cm
Halaman : 892 halaman
Harga : Rp 250,000
Senin, 01 Oktober 2012
Tamar Daja : Soekarno - Hatta dan Islam
Suatu pertanyaan besar yang sangat sukar menjawabnya, ialah bagaimana
Sukarno – Hatta itu dipandang dari segi agama islam dalam perjuangannya.
Kedua pimpinan itu siang-siang telah menyatakan dirinya seorang nasionalis,
yang mencintai bangsa dan cinta kemerdekaan. Sejak mulai bergerak sampai hari
proklamasi kemerdekaan, bahkan sampai mereka memegang kedudukan tinggi dalam
negara sebagai Presiden dan Wakil Presiden, tetap mengaku seorang nasionalis.
Dan harus diakui pula bahwa sejak semula baik Bung Karno maupun Bung Hatta
mengakui pula seorang Islam.
Tapi yang jelas, keduanya tidaklah orang yang lengkap ilmunya tentang
keislaman, dipandang dari segi pandangan hidup dan cara berfikitnya maupun ide
yang dianutnya, sama sekali tidaklah diwarnai oleh islam. Islam bagi mereka,
hanyalah sebagai satu agama yang hanya berlaku bagi pribadi-pribadi
penganutnya. Islam merupakan agama ibadah, penyembahan kepada Tuhan dan
pengakuan tentang adanya Tuhan itu. Adapun pengetahuan terperinci tentang agama
islam, katakanlah seperti Ilmu Hadits, Ilmu Al Quran, Ilmu Tauhid, Ilmu Fqih, Ilmu
Ushul Fiqih, Ilmu Akhlaq dan seterusnya, tidaklah dikuasai oleh mereka.
Pengetahuan dan pengertian tentang islam, tidak mudah sebagaimana dianggap
orang islam sukar juga mempelajarinya karena terlalu banyak simpang siur jalan
yang dilalui. Tidak cukup lima tahun orang belajar tentang islam sehingga dapat
disebut ulama. Paling sedikit 10 tahun bertekun di pesantren, belajar dengan
Kiyai dan Syekh.
Pendidikan pesantren, amat diperlukan bagi seorang islam, kalau ia ingin
menjadi seorang ulama, yang faham agama dari segala seginya, ya seorang muslim
sejati.
Bayangkanlah Sukarno – Hatta, yang hanya belajar sambilan saja, dalam
tempoh yang relatif singkat pula. Didalam riwayat hidupnya kita jumpai, Sukarno
baru mulai mengenal ISLAM ialah ketika berada di Endeh (dalam pembuangan),
yaitu dengan perantaraan surat-suratnya dengan almarhum A. Hasan guru Persis
yang terkenal. Kemudian setelah ia dipindahkan ke Bengkulen mulai masuk menjadi
anggota Muhammadiyah, bahkan ikut menjadi pengurusnya pula. Apakah selama di
Bengkulen Bung Karno ada menambah ilmunya tentang islam tak tahulah kita. Tapi bagaimanapun
juga , ilmunya tentang agama islam jauh berkurang dan sangat sedikit sekali. Wajarlah
kalau Sukarno kurang menghayati agama islam.
Demikian pula Hatta, walaupun ia seorang turunan ulama dan disebutkan
pernah belajar agama waktu di Bukittinggi dan mungkin pula waktu di Padang,
tapi pelajarannya itu amat masih minim sekali. Berbagai ilmu dalam islam
seperti disebutkan diatas, tidak dimilikinya.
Wajar pula lah kalau Hatta kurang menghayati pula agama islam secara
keseluruhan. Tapi seperti diketahui, dirinya sendiri sangat tekun ibadah agama.
Shalatnya amat khusyu dan lama. Ibadah ini benar-benar dihayatinya.
Tapi dalam islam bukanlah hanya shalat itu saja. Bagaimana pengetahuannya
tentang islam dengan politik, islam dengan ekonomi, dengan filsafat, dengan
kebudayaan dengan akhlak dan sebagainya? Mungkin belum banyak diketahui oleh
Hatta.
Dan berdasarkan inilah sebenarnya kita menerima pertanyaan dari kedua orang
besar itu, suatu yang aneh atau boleh dibilang gaib. Yaitu mereka tidak dapat
menerima konsep Islam tentang ekonomi. Tidak bisa menerima pemerintahan menurut
konsep islam.
Sebab islam itu dianggapnya sama saja dengan agama-agama lain, yaitu
memisahkan agama dari politik dan negara. Agama adalah untuk akhirat semata,
sedangkan politik, ekonomi, kebudyaan dan sebagainya itu, adalah untuk dunia. Islam
hanya mengurus urusan akhirat.
Inilah suatu kekeliruan pandangan. Islam tidaklah hanya mengurus dunia,
tetapi mengurus akhirat, atau sebaliknya bukan semata-mata mengurus akhirat
tapi juga mengurus dunia.
Pendirian Sukarno – Hatta bersamaan tentang tidak bisa menerima negara kita
berdasarkan islam.
Waktu Dewan Konstituante masih melakukan sidang-sidangnya membicarakan
konstitusi negara, bertempurlah dua dasar. Ada dua usul yang dimajukan untuk
menjadi dasar negara. ISLAM dan PANCASILA. Sudah tentu islam menjadi dasar
negara didukung oleh seluruh partai islam. Dan Pancasila didukung oleh
partai-partai nasional dan lainnya.
Presiden Sukarno menginginkan Pancasila. Karena itu, tanggal 5 Juli 1959,
dikeluarkannyalah Dekrit. Dekrit membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan
Konstituante. Sebgaimana penggantinya dibentuk DPR Gotong royong serta MPRS
(Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementera). Juga pada hari itu, Presden
menyatakan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, dan diakuinya Piagam
Jakarta.
Kalau Hatta masih mendampingi Sukarno, belum tentu Sukarno seberani itu
bertingkah dan menyatakan pendiriannya, main bubar itu. Membubarkan Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Konstituante dan membubarkan Masyumi dan PSI,
menyatakan Pancasila menjadi dasar negara dan mengenyampingkan saja Islam yang
didukung jumlah terbesar.
Memang, sejak dahulu sudahlah diketahui bahwa Sukarno Hatta kurang
simpatiknya terhadap islam itu. Bahkan tidak setuju sama sekali kalau Islam
dijadikan dasar negara atau masuk menjadi undang-undang negara.
Sukarno berkata di Amuntai, kalau islam dijadikan dasar negara kita, akan
pecahlah persatuan kita.
Sebab pemeluk-pemeluk agama lain tidak akan menyukainya dan menentangnya.
Pendirian Hatta pun demikian pula.
Bukankah 7 kalimat dalam Piagam Jakarta yang terkenal itu, Hatta sendiri
yang mencoretnya karena mengindahkan tuntutan dari lain agama. Tujuh kalimat
itu : “Dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya”.
Kata ini dapat dianggap berbahaya, sehingga perlu dicoret. Padahal menurut
pendapat kita, apalah bahanya. Kewajiban menjalankan syariat islam itu, kan
hanya untuk ummat islam bukan untuk seluruh penduduk.
Yang paling janggal ialah Islamnya Bung Karno. Ia mempersatukan Islam
dengan Komunisme, padahal keduanya amat bermusuhan.
Tapi karena Bung Karno memang kurang memahami ajaran-ajaran islam, baginya
dianggap enteng saja perbedaan pendirian Islam denga pendirian Komunis itu. Yang
jelas pendirian tentang Ketuahanan, sangat tidak bisa disatukan antara
keduanya. Bagaimana bisa disatukan didalam diri seorang faham ada Tuhan dengan
faham tidak ada Tuhan. Satu faham kita harus beragama dengan faham agama adalah
candu rakyat.
Tapi mati-matian Sukarno tetap berkata nasionalis, Islam dan Komunisme
harus bisa disatukan. Dan itulah NASAKOM yang dipuja-puja sewaktu Sukarno berkuasa
penuh di Indonesia. Ketika orde baru mulai berdiri, dibawah pimpinan Presiden
Soeharto, ada gejala Hatta diusulkan akan tampil memimpin partai baru yaitu
PARTAI SOSIALIS ISLAM. Tapi hal ini tak sampai menjadi.
Waktu itu sedang asyiknya orang memperkatakan soal partai. Masyumi ingin
direhabilitir kembali, tapi oleh Presiden yang dapat dibenarkan ialah suatu
wadah bagi ummat islam sebgai partai politik. Maka lahirlah Partai Muslimin
yang bekedudukan sebgai pengganit Masyumi yang telah dibubarkan rezim Sukarno.
Partai Muslimin inilah kemudian yang menjadi Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), sebagai penyaluran ideologi islam.
Akhirul Kalam, semenjak Hatta meninggalkan kedudukannya, terlalu banyak
peristiwa yang mengejutkan terjadi. Dan peristiwa-peristiwa itu, banyak sekali
membawa kerugian bagi rakyat dan bangsa kita.
Penulis mengira, Hatta yang sudah berusia lanjut, tentu tak mungkin lagi
diharapkan akan tampil memimpin bangsanya secara aktif.
Kalau ada sesuatu yang ingin dilakukannya dalam kegiatan politik, tentu tak
ada lagi kekuatannya. (Tamar Djaja, 1981 ; Hal. 231 – 235)
Kamis, 27 September 2012
Soekarno mencicipi wanita
Menyambung tulisan saya yang terdahulu tentang Sukarno "Senang Wanita", kali ini saya akan membahas cerita yang lainnya mengenai kehidupan Sukarno dan wanita. Kali ini saya akan mengutip pernyataan Sukarno dalam buku "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat" karya Cindy Adams tahun 1966.
Pada waktu ratu kecantikan Universitas Hawai mengalungkan bunga kepada saya, lalu menciumku, saya bertanya. Bagaimana saya harus membalasnya?
Balaslah ciumannya bisik pengiringku Laksamana Felt. Kalau tidak begitu, tuan menyakiti hatinya. Sudah tentu saya tidak mau menyakiti hatinya. Jawabku gembira, dan dengan cara seorang Presiden kucium kedua pipinya dengna halus seperti juga kepada seorang kawan. Selesia pidatoku, ia mengulangi lagi acara itu. Kali ini aku menjalankan peranku tanpa petunjuk lagi. Kilasan kamera di waktu itu dan ke luarlah judulnya di surat kabar " Lihatlah Sukarno lagi-lagi mencicipi wanita". (Cindy Adams. 1966 : Hal. 427).
Sebuah cerita yang menarik betapa pemikiran Sukarno pada waktu itu menggambarkan sudah sangat "maju" nya pemikiran dia melebihi pemikiran orang-orang Indonesia atau lebih umum melebihi budaya ketimuran pada waktu itu atapun saat ini. Bayangkan saja, budaya ketimuran sudah tentu tidaklah akan melakukan hal-hal yang dianggap tabu seperti ini. Sukarno malah lebih memilih menyesuaikan diri dengan budaya orang lain dibandingkan budayanya sendiri (Pen. Budaya ketimuran). Tak bisa dibayangkan jika peristiwa itu dialami oleh Presiden yang sekarang menjabat maka sudah barang tentu akan menjadi bahan hujatan media masa dan masyarakat umum. Tapi beliau dengan percaya dirinya menceritakan dalam buku biografinya itu.
Masih dalam buku tersebut, Sukarno melontarkan pemikirannya yang kontroversial mengenai pentingnya peran para pelacur untuk menjadi mata-mata di dunia demi kepentingan politiknya.
Pelacur adalah mata-mata paling baik, di dunia. Aku dengan senang hati menganjurkan ini kepada setiap pemerintah. Dalam gerakan PNI-ku di Bandung terdapat 670 orang wanita pelacur, dan mereka adalah anggota yang paling setia dan patuh dari pada anggota yang lain yang pernah ku ketahui. Hasilnya mengagumkan dalam pekerjaan ini. (Cindy Adams. 1966: Hal. 113).
Sungguh ironis jika cara-cara ini dilakukan oleh para pemimpin zaman sekarang. Tidak terbayang jika mereka melakukan hal ini sebagaimana yang telah di lakukan oleh Sukarno. Maka sudah barang tentu hancurlah moral para pemimpin seperti itu. Alih-alih membuat sadar para pelacur itu akan tetapi malah Sukarno manfaatkan mereka sebagai mesin politiknya demi kepentingannya sendiri.
Namun, tak bisa dipungkiri bahwa dunia politik zaman sekarang ataupun zaman dahulu tetap saja pada dasarnya adalah menghalalkan segala cara demi mendapatkan dan mempertahankan kekuasaannya.
Langganan:
Postingan (Atom)