A.
AWAL MASUKNYA PERSIS KE CIRENGIT
Pada
tahun 1920-an di Cirengit telah berdiri sebuah pesantren di kampung Cirengit
Kecamatan Banjaran dengan tokoh ulamanya adalah Ajengan Mamun. Sejak saat itu
sampai tahun 1940-an kampung Cirengit dikenal sebagai kampung santri. Para
santrinya kebanyakan berusia pemuda yang sering membahas kitab-kitab
Syafi’iyyah dengan mempergunakan metoda sorogan dan bandongan.
Ketokohan
Ajengan Mamun, sebagaimana lazimnya tokoh dalam khazanah budaya Nahdhatul
Ulama, sangat melekat erat dalam kehidupan masyarakat, terkadang segala
persoalan pun datang kepadanya, demikian pula perkataan Ajengan pun sering
menjadi rujukan pertama dan utama.
Pada
tahun 1940-an di Cirengit kedatangan sebuah paham agama baru yang dibawa oleh
orang-orang yang sering pergi ke Bandung, diantaranya adalah Endeng dan Embing.
Mereka menyebarkan paham tersebut kepada masyarakat Cirengit, tetapi tidak
dapat disertai dengan dalil. Mereka hanya dapat berkata bahwa itu bid’ah, tidak
ada contohnya, itu syirik, dll.
Walaupun
disampaikan dalam berbagai kesempatan tetapi masyarakat Cirengit tidak ada yang
menanggapi karena pertama itu datang dari pendatang, kedua mereka tidak mampu
membawakan dalilnya, sehingga masyarakat Cirengit pada waktu itu, terutama para
tokoh agamanya tidak peduli terhadap ajaran itu bahkan ada ungkapan “Ah eta
mah datangna oge ti sahandapeun” (maksudya ilmunya), “ ah eta mah
bacaanna oge tina Koran”, mengapa?, karena mereka terbiasa membaca kitab
Safinah dan Fathul Muin sebagai kitab rujukan utama, sedangkan yang membawa
ajaran baru tidak memiliki latar belakang keilmuan seperti itu.
Pada
tahun 1942-an ada orang Cirengit yang terbuka (moderat) yang mencoba memahami
dakwah kedua orang tersebut diatas, yaitu H. Adam, seorang pemuda lulusan
sekolah agama dan melanjutkan ke Pesantren Sukamiskin Bandung. H. Adam
menyambut ajaran tersebut dan mendorong agar kedua orang diatas membawakan
sumber bacaannya : “Sudah saja sekarang bawa buku-bukunya agar tokoh agama
disini dapat membaca dalil-dalinya”.
Endeng
dan Embing membawakan beberapa majalah Persatuan Islam tahun 30-an seperti,
Pembela Islam, Al-Fatwa, Majalah Al-Lisan dan At-Taqwa dan disampaikan kepada
tokoh-tokoh agamanya melalui H. Adam.
Tahun
1943-1945 terjadi berbagai polemik keagamaan di Cirengit menyusul adanya
penguatan dukungan terhadap paham baru tadi, polemik tersebut tidak jarang
berujung kepada perselisihan terbuka dan saling mencibir bahkan tidak jarang
hampir mendekati perkelahian.
Pada
dasarnya Cirengit tidak mengenal Persatuan Islam sebagai sebuah organisasi,
mereka hanya mengenalnya dalam konteks pemahaman yang baru terhadap ajaran
agama islam yang selama ini diamalkan.
Kalaupun
pada akhirnya mereka mengenal sosok Ust. A. Hasan, Ust. Qomarudin Saleh, Ust.
E. Abdurahman, Moh. Natsir dll, mereka hanya mengenal sebagai penulis di
majalah-majalah tadi. Mereka tidak mengetahui bahwa paham yang sedang diminati
dan diamalkannya itu adalah paham Persis.
Demikian
pula ketika berinteraksi dan menyebarkan paham tersebut mereka tidak
berhubungan dengan penyebaran Persis bahkan dalam berbagai kesempatan, kelompok
pembaharu di Cirengit tetap mempergunakan Madzhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Banyak
kebiasaan ibadah masyarakat Cirengit yang dikritik terutama Talafudz Bin
Niat dan over ganjaran. Didalam penyampaian dan metoda
pendekataannya seringkali berbeda-beda, orang-orang yang berpaham baru ini ada
yang berdakwah dengan metoda dan pendekatan secara kekeluargaan/luwes, tetapi
ada pula yang lugas, bahkan ada yang konfrontatif.
Hanya
saja walaupun telah timbul dan berkembang polemik sekaligus perselisihan karena
perbedaan pemahaman agama, kelompok pembaharu belum mampu memisahkan diri dari
masjid golongan tradisional, mereka masih bergabung dengan aktivitas ibadah
golongan tradisional karena belum memiliki masjid sendiri, apalagi pada waktu
itu masih ada larangan/ketidakbolehan mendirikan masjid kecuali atas ijin Naib
Kecamatan.
Sadar
bahwa mereka belum dapat lepas dari masjid sepuh maka mereka pun mulai merubah
metoda dakwah yang cenderung lebih luwes tapi tetap lugas dari segi prinsip,
satu contoh adalah ketika di masjid tersebut diadakan Muludan, mereka (kaum
pembaharu) datang paling awal dan sengaja menempati jajaran terdepan, agar bisa
mengikuti posesi upacara sampai pada akhirya mereka meminta waktu untuk turut
berbicara mengenai hukum Muludan.
Pola
pendekatan yang lebih berani dan terbuka ini tetap disampaikan secara luwes
tanpa memojokan satu golongan tertentu, mereka lebih menitikberatkan kepada
kekuatan argumentasi yang disertai dalil dan referensi yang biasa dipakai oleh
golongan tradisional, sehingga sedikit banyaknya, turut mempengaruhi kebiasaan
dan tata cara ibadah di masjid, bahkan golongan pembaharu telah mempunyai daya
tawar untuk turut menentukan kebijakan di masjid tersebut, seperti jadwal
Imam/Khotib Jum’at bergilir adzan jum’at menjadi satu kali.
Tetapi
perubahan tersebut tidak secara langsung merubah orientasi pemahamannya menjadi
Qur’an Sunnah, perubahan ini baru berada pada tataran toleransi dari Ajengan
Mamun kepada kelompok pembaharu, seolah ada kesan sikap mendua, di depan seolah
menerima paham pembaharu tetapi dibelakang tetap bersiteguh pada paham
tradisional. Suasana seperti itu telah mendorong terhadap keperluan untuk
memiliki masjid sendiri.
Pada
tahun 1947-an Naib Kecamatan berasal dari Partai Masyumi yaitu Naib Mohamad
Adang, seorang Ketua Anak Cabang Masyumi Banjaran yang berkantor di rumah
Ajengan Jamhur Kiangroke. Adang memiliki Wakil Ketua yang bernama Wiryanapura
dan Sekretaris Jenderalnya H. Adam.
Dari
hubungan ini telah memberikan efek pararel diantara Wiryanapura dan H. Adam
dikemudian hari, pada saat itu diantara kedua orang ini belum mengenal secara
akrab satu sama lain, mereka hanya mengenal sebagai aktivis partai dan sering
bertemu untuk membicarakan partai.
H.
Adam mencoba memanfaatkan kehadiran Naib Adang untuk memperlancar keperluan
kelompok pembaharu di Cirengit, dengan alasan mengundang untuk shalat Jum’at di
Cirengit, H. Adam ingin Naib Adang secara langsung dapat melihat sendiri jumlah
pengunjung masjid tersebut begitu membludak, dari sini H. Adam menyampaikan
maksudnya agar dijinkan untuk mendirikan masjid disebelah utara dengan alasan
bahwa masjid disini sudah tidak mampu menampung pengunjungnya, Naib Adang pun
kemudian mengijinkan.
Berbekal
ijin diatas, maka H. Adam dan kawan-kawan mendirikan mushola berukuran 4 x 6 m2
(cikal bakal Masjid Persis Cirengit sekarang). Aktivitas shalat
berjama’ah dapat dilakukan di mushola ini sampai pada akhirnya shalat jum’at
pun mulai diselenggarakan disana walau dengan jumlah jama’ah yang kurang dari
40 orang.
Pada
tahun 1948 H. Muhtar mewakafkan sebidang tanah untuk dijadikan tempat sekolah
agama anak-anak (madrasah) bersamaan dengan berdirinya Negara Pasundan.
Madrasah yang dibangun dari hasil swadaya masyarakat itu dapat menampung jumlah
anak kurang lebih 150 orang, mulai dari Pak Ejeb Cirengit kulon sampai dengan
Pak Ejeb Cirengit wetan semua mengenal madrasah tersebut, madrasah itu pula
yang dijadikan pos jaga masyarakat ketika berdirinya Negara Pasundan bentukan
Belanda, bahkan madrasah ini pun pernah diserang Belanda karena dikira markas
pejuang, sering pula Tentara Pendudukan (TP) berpatroli dari Bojong Buah ke
Cirengit sengaja lewat madrasah ini.
Pada
awal tahun 1954 madrasah ini bermaksud menyelenggarakan imtihan, untuk
mempersiapkannya mereka berembuk beberapa kali yang diputuskan akan mengadakan imtihan
dan ditutup oleh pengajian dimana ustadnya Ust. Abdurahman. Dalam pertemuan di
madrasah tersebut telah disepakati pula bahwa yang menghubungi ustadznya adalah
H. Adam. H. Adam pun berangkat ke Pameutingan Pameungpeuk dengan mengendarai
sepeda menemui salah seorang staf PP. Persis yang tinggal di Pameutingan,
Muhamad Soleh. Pada saat itu Muhamad Soleh langsung menanyakan apakah di
Cirengit sudah ada anggota, lalu dijawab belum bahkan tidak tahu anggota untuk
apa dan apa keperluan menjadi anggota tersebut. Lalu Soleh menjelaskan bahwa
Ust. Abdurahman itu adalah salah seorang staf PP. Persis, sehingga wajar
sekaligus penghormatan apabila yang mengundang itu datang dari anggota
Persatuan Islam bahkan kalau memungkinkan langsung saja dibentuk cabangnya karena
persyaratan minimal jumlah anggota untuk dapat berdiri sebuah cabang hanya lima
orang.
Hasil
pertemuan itu dibawa ke dalam rapat di rumah Marzuki yang melahirkan
kesepakatan untuk mendaftarkan diri menjadi anggota Persatuan Islam. Jadi yang
pertama kali menjadi anggota Persis di Cirengit adalah Marzuki, H. Mahfud, H.
Adam, H. Muhtar, dan Endeng kemudian diikuti oleh masyarakat Cirengit lainnya
yang jumlahnya melampaui 50 orang.
Pada
juli 1954 bersamaan dengan pengajian Ust. Abdurahman, di Madrasah Cirengit
diselenggarakan pendirian sekaligus pelantikan PC Persatuan Islam Cirengit
dengan Ketua Marzuki, dan Sekretaris H. Adam dan PC Persistri Cirengit dengan
Ketua Hj. Halimah istri H. Mahfud dengan sekretariat di Madrasah Persis
Cirengit. (sekarang Madrasah yang di pakai RA).
Pada
masa-masa awal ini belum ada hubungan yang erat antara Cirengit dan Banjaran,
hubungan pada saat itu boleh dikatakan masih terpisah satu sama lain sekaligus
adanya perbedaan dinamika kemasyarakatan diantara keduanya. Bersambung…………….
(Sumber : Nurdin, Kurniawan “Sejarah Perjuangan Persatuan Islam Banjaran
(1942-1983)”. PC Pemuda Persis Banjaran, Bandung; 2003.).