Senin, 29 Oktober 2012

MENGUAK KEISLAMAN SUKARNO - HATTA



Suatu pertanyaan besar yang sangat sukar menjawabnya, ialah bagaimana Sukarno – Hatta itu dipandang dari segi agama islam dalam perjuangannya. 
Kedua pimpinan itu siang-siang telah menyatakan dirinya seorang nasionalis, yang mencintai bangsa dan cinta kemerdekaan. Sejak mulai bergerak sampai hari proklamasi kemerdekaan, bahkan sampai mereka memegang kedudukan tinggi dalam negara sebagai Presiden dan Wakil Presiden, tetap mengaku seorang nasionalis.
Dan harus diakui pula bahwa sejak semula baik Bung Karno maupun Bung Hatta mengakui pula seorang Islam.
Tapi yang jelas, keduanya tidaklah orang yang lengkap ilmunya tentang keislaman, dipandang dari segi pandangan hidup dan cara berfikitnya maupun ide yang dianutnya, sama sekali tidaklah diwarnai oleh islam. Islam bagi mereka, hanyalah sebagai satu agama yang hanya berlaku bagi pribadi-pribadi penganutnya. Islam merupakan agama ibadah, penyembahan kepada Tuhan dan pengakuan tentang adanya Tuhan itu. Adapun pengetahuan terperinci tentang agama islam, katakanlah seperti Ilmu Hadits, Ilmu Al Quran, Ilmu Tauhid, Ilmu Fqih, Ilmu Ushul Fiqih, Ilmu Akhlaq dan seterusnya, tidaklah dikuasai oleh mereka.
Pengetahuan dan pengertian tentang islam, tidak mudah sebagaimana dianggap orang islam sukar juga mempelajarinya karena terlalu banyak simpang siur jalan yang dilalui. Tidak cukup lima tahun orang belajar tentang islam sehingga dapat disebut ulama. Paling sedikit 10 tahun bertekun di pesantren, belajar dengan Kiyai dan Syekh.
Pendidikan pesantren, amat diperlukan bagi seorang islam, kalau ia ingin menjadi seorang ulama, yang faham agama dari segala seginya, ya seorang muslim sejati.
Bayangkanlah Sukarno – Hatta, yang hanya belajar sambilan saja, dalam tempoh yang relatif singkat pula. Didalam riwayat hidupnya kita jumpai, Sukarno baru mulai mengenal ISLAM ialah ketika berada di Endeh (dalam pembuangan), yaitu dengan perantaraan surat-suratnya dengan almarhum A. Hasan guru Persis yang terkenal. Kemudian setelah ia dipindahkan ke Bengkulen mulai masuk menjadi anggota Muhammadiyah, bahkan ikut menjadi pengurusnya pula. Apakah selama di Bengkulen Bung Karno ada menambah ilmunya tentang islam tak tahulah kita. Tapi bagaimanapun juga , ilmunya tentang agama islam jauh berkurang dan sangat sedikit sekali. Wajarlah kalau Sukarno kurang menghayati agama islam.
Demikian pula Hatta, walaupun ia seorang turunan ulama dan disebutkan pernah belajar agama waktu di Bukittinggi dan mungkin pula waktu di Padang, tapi pelajarannya itu amat masih minim sekali. Berbagai ilmu dalam islam seperti disebutkan diatas, tidak dimilikinya.
Wajar pula lah kalau Hatta kurang menghayati pula agama islam secara keseluruhan. Tapi seperti diketahui, dirinya sendiri sangat tekun ibadah agama. Shalatnya amat khusyu dan lama. Ibadah ini benar-benar dihayatinya.
Tapi dalam islam bukanlah hanya shalat itu saja. Bagaimana pengetahuannya tentang islam dengan politik, islam dengan ekonomi, dengan filsafat, dengan kebudayaan dengan akhlak dan sebagainya? Mungkin belum banyak diketahui oleh Hatta.
Dan berdasarkan inilah sebenarnya kita menerima pertanyaan dari kedua orang besar itu, suatu yang aneh atau boleh dibilang gaib. Yaitu mereka tidak dapat menerima konsep Islam tentang ekonomi. Tidak bisa menerima pemerintahan menurut konsep islam.
Sebab islam itu dianggapnya sama saja dengan agama-agama lain, yaitu memisahkan agama dari politik dan negara. Agama adalah untuk akhirat semata, sedangkan politik, ekonomi, kebudyaan dan sebagainya itu, adalah untuk dunia. Islam hanya mengurus urusan akhirat.
Inilah suatu kekeliruan pandangan. Islam tidaklah hanya mengurus dunia, tetapi mengurus akhirat, atau sebaliknya bukan semata-mata mengurus akhirat tapi juga mengurus dunia.
Pendirian Sukarno – Hatta bersamaan tentang tidak bisa menerima negara kita berdasarkan islam.
Waktu Dewan Konstituante masih melakukan sidang-sidangnya membicarakan konstitusi negara, bertempurlah dua dasar. Ada dua usul yang dimajukan untuk menjadi dasar negara. ISLAM dan PANCASILA. Sudah tentu islam menjadi dasar negara didukung oleh seluruh partai islam. Dan Pancasila didukung oleh partai-partai nasional dan lainnya.
Presiden Sukarno menginginkan Pancasila. Karena itu, tanggal 5 Juli 1959, dikeluarkannyalah Dekrit. Dekrit membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Konstituante. Sebgaimana penggantinya dibentuk DPR Gotong royong serta MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementera). Juga pada hari itu, Presden menyatakan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, dan diakuinya Piagam Jakarta.
Kalau Hatta masih mendampingi Sukarno, belum tentu Sukarno seberani itu bertingkah dan menyatakan pendiriannya, main bubar itu. Membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Konstituante dan membubarkan Masyumi dan PSI, menyatakan Pancasila menjadi dasar negara dan mengenyampingkan saja Islam yang didukung jumlah terbesar.
Memang, sejak dahulu sudahlah diketahui bahwa Sukarno Hatta kurang simpatiknya terhadap islam itu. Bahkan tidak setuju sama sekali kalau Islam dijadikan dasar negara atau masuk menjadi undang-undang negara.
Sukarno berkata di Amuntai, kalau islam dijadikan dasar negara kita, akan pecahlah persatuan kita.
Sebab pemeluk-pemeluk agama lain tidak akan menyukainya dan menentangnya.
Pendirian Hatta pun demikian pula.
Bukankah 7 kalimat dalam Piagam Jakarta yang terkenal itu, Hatta sendiri yang mencoretnya karena mengindahkan tuntutan dari lain agama. Tujuh kalimat itu : “Dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya”.
Kata ini dapat dianggap berbahaya, sehingga perlu dicoret. Padahal menurut pendapat kita, apalah bahayanya. Kewajiban menjalankan syariat islam itu, kan hanya untuk ummat islam bukan untuk seluruh penduduk.
Yang paling janggal ialah Islamnya Bung Karno. Ia mempersatukan Islam dengan Komunisme, padahal keduanya amat bermusuhan.
Tapi karena Bung Karno memang kurang memahami ajaran-ajaran islam, baginya dianggap enteng saja perbedaan pendirian Islam denga pendirian Komunis itu. Yang jelas pendirian tentang Ketuhanan, sangat tidak bisa disatukan antara keduanya. Bagaimana bisa disatukan didalam diri seorang faham ada Tuhan dengan faham tidak ada Tuhan. Satu faham kita harus beragama dengan faham agama adalah candu rakyat.
Tapi mati-matian Sukarno tetap berkata Nasionalis, Islam dan Komunisme harus bisa disatukan. Dan itulah NASAKOM yang dipuja-puja sewaktu Sukarno berkuasa penuh di Indonesia. Ketika orde baru mulai berdiri, dibawah pimpinan Presiden Soeharto, ada gejala Hatta diusulkan akan tampil memimpin partai baru yaitu PARTAI SOSIALIS ISLAM. Tapi hal ini tak sampai menjadi.
Waktu itu sedang asyiknya orang memperkatakan soal partai. Masyumi ingin direhabilitir kembali, tapi oleh Presiden yang dapat dibenarkan ialah suatu wadah bagi ummat islam sebgai partai politik. Maka lahirlah Partai Muslimin yang bekedudukan sebagai pengganit Masyumi yang telah dibubarkan rezim Sukarno.
Partai Muslimin inilah kemudian yang menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebagai penyaluran ideologi islam.
Akhirul Kalam, semenjak Hatta meninggalkan kedudukannya, terlalu banyak peristiwa yang mengejutkan terjadi. Dan peristiwa-peristiwa itu, banyak sekali membawa kerugian bagi rakyat dan bangsa kita.
Penulis mengira, Hatta yang sudah berusia lanjut, tentu tak mungkin lagi diharapkan akan tampil memimpin bangsanya secara aktif.
Kalau ada sesuatu yang ingin dilakukannya dalam kegiatan politik, tentu tak ada lagi kekuatannya. (Tamar Djaja, 1981 ; Hal. 231 – 235)

Kamis, 04 Oktober 2012

PETER CAREY : PERANG JAWA DAN CIKAL BAKAL GERAKAN KEBANGSAAN



 Dok : Bedah Buku "Kuasa Ramalan ; Peter Carey" Rabu, 25 April 2012
Gedung Bale Santika Universitas Padjadjaran Jatinangor

 Dok : Bedah Buku "Kuasa Ramalan ; Peter Carey" Rabu, 25 April 2012Gedung Bale Santika Universitas Padjadjaran Jatinangor

Ihwal cikal bakal gerakan kebangsaan ini disadari oleh Frans Gerhardus Valck (1977 – 1842), seorang pejabat tinggi Belanda yang pernah berdinas di sejumlah keresidenan di Jawa tengah-selatan selama dua dasawarsa yang mencakup masa perang Jawa dan sesudahnya. Beginilah ia menulis pada 1840 :
“Masa tugas (saya) selama hampir dua puluh tahun di berbagai keresidenan telah memberi saya pelajaran bahwa semangat rakyat biasa Jawa bersifat menentang kita, bukan karena kita orang Belanda memperlakukan dia dengan buruk tapi dia diresapi rasa kebangsaan .......... kendati segala keuntungan yang ia dapat dari kita, ia tidak dapat meniadakan hasrat untuk diperintah oleh penguasanya sendiri meski mereka mungkin akan memerintah dengan lebih buruk (dari pada kita) ...... ia terus saja melihat dalam diri kita sosok penguasa asing yang zalim, yang sangat berbeda dengan dirinya secara moral, adat–istiadat agama, cara berpakaian, dst. Sekadar melihat orang Eropa saja sudah mengingatkan dia akan suasana yang sarat penghinaan (dan) ia tidak tahan untuk menatap benci dan memandang rendah manakala ia merasa dapat berbuat demikian tanpa dihukum.”.
Valck bukan satu-satunya yang berpandangan demikian. Pengamat yang jeli, seperti ahli hukum Willem van Hogendorp (1795 – 1838), yang bertugas sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahan Komisaris – Jenderal L.P.J. du Bus de Gisignies (menjabat, 1826 – 1830) selama Perang Jawa, mengungkapkan kecemasannya dalam surat menyurat dengan ayahnya pada tahun 1827 – 1829.
Benang merah “nasionalisme” yang anti–Belanda ini, jika disebut demikian dalam masalah sedini itu, akan dipaparkan lebih jauh dalam Perang Jawa. Kerawanan budaya yang merupakan dampak imperialisme Eropa yang baru pada awal abad kesembilan belas atas Jawa tengah-selatan merupakan salah satu pokok kajian buku Kuasa Ramalan. Selain itu, buku itu juga berusaha memberi penjelasan atas berbagai peristiwa dari sudut pandang tokoh utamanya, Diponegoro. Sebagai tokoh peralihan yang menentukan, ia hidup selama terjadi perubahan dari tatanan lama Jawa abad kedelapan belas ke masa “kolonial tinggi” yang berlandaskan revolusi rangkap di bidang politik dan industri yang mengubah Eropa selama masa hidupnya.
Dalam banyak hal, Diponegoro yang merupakan tokoh tradisional yang secara mendalam meresapkan nilai-nilai budaya Jawa pra-moderen, khususnya nilai-nilai lingkungan keraton-keraton Jawa tengah–selatan, juga mewartakan masa depan. Dalam hal ini orang merujuk penggunaan Islam Jawa yang dilakukannya, khususnya tradisi mesianismenya, sebagai cara menempa jati diri baru bagi kaum muslim Jawa di masa runtuhnya tatanan Jawa lama. Diponegoro hidup dalam suatu dunia yang terpisah oleh jurang yang semakin dalam antara mereka yang siap menyesuaikan diri dengan manfaat Eropa baru dan mereka yang memandang tatanan nilai Islami (agama Islam) sebagai kaidah hidup dalam suatu masyarakat yang telah kehilangan pegangan tradisionalnya. 

Perang Jawa menimbulkan dorongan bagi suatu perkembangan yang masih berlangsung dalam masyarakat Indonesia mederen dewasa ini : itulah penyerapan nilai-nilai Islami ke dalam jati diri Jawa dan Indonesia di zamannya. Pandangan hidup Diponegoro juga mencakup kepedulian yang khas di zamananya mengenai cara bagaimana kaum muslim Jawa selayaknya hidup saat Barat Imperialis berkuasa. Berbeda dari pandangan kaum muslim indonesia kini, bagi Diponegoro, Jawaban tampaknya terletak dalam pengobaran perang suci dan pengembangan suatu pemisahan yang tegas, yang makin nyata selama lima tahun perjuangannya, antara wong  Islam (umat Islam), orang Eropa kapir laknatulloh, dan orang Jawa kapir murtad (yang bersekutu dengan Belanda). Namun terdapat juga keprihatinan pribadi Pangeran yang sangat mendalam mengenai kelestarian nilai-nilai khas Jawa yang terungkap dalam bahasa, pakaian, dan patokan budaya, sebagaimana terpantul paling jelas pada perlakuannya terhadap orang Belanda yang tertawan selama Perang Jawa. Pun para tawanan Belanda waktu perang diharapkan mengenakan busana Jawa dan berbicara kepada yang menawan  mereka bukan dengan bahasa kasar negara kolonial baru itu – “Melayu dinas” – tapi dengan bahasa Jawa halus (krama), bahasa para petinggi keraton. Meski menetapkan busana, dan memberikan pangkat, Turki Usmani seperti “Ali Basah” (Pasha Tinggi) buat para panglima tertingginya, Diponegoro bukanlah pembaharu Islam. Sebaliknya, ia seorang muslim Jawa tradisional yang tidak mengenal pertentangan antara dunia kerohanian Jawa dan keanggotaanya dalam umat internasional yang pusat kerohanian serta budaya politiknya adalah Hejaz (Arab saudi sekarang ini) dan Turki Usmani. Diponegoro tidak berhasil mencapai tujuannya untuk memulihkan kebesaran agama Islam di Jawa. Sesungguhnya, martabat dan keutuhan yang ia perjuangkan bagi umat Jawa hanya akan tercapai secara lahiriah sembilan puluh tahun setelah ia wafat dengan proklamasi kemerdekaan politik dari pemerintah kolonial Belanda pada 1945. Tapi, wawasan moralnya yang lebih luas untuk memperoleh tempat terhormat bagi Islam dalam kehidupan bangsanya, masih terus diusahakan dalam masa pertentangan global yang tidak pernah terjadi sebelumnya, antara apa yang dianggap oleh masyarakat Islam sebagai nilai-nilai “materialistik” Barat dan pengelompokkan beranak-pinak dalam umat muslim dunia. 


Spesifikasi Buku:
Judul : Kuasa Ramalan : Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855
Pengarang : Peter Carey
ISBN : 9789799103956
KPG : 901110489
Ukuran : 230 x 150 cm
Halaman : 892 halaman
Harga : Rp 250,000

 

Senin, 01 Oktober 2012

Tamar Daja : Soekarno - Hatta dan Islam



Suatu pertanyaan besar yang sangat sukar menjawabnya, ialah bagaimana Sukarno – Hatta itu dipandang dari segi agama islam dalam perjuangannya. 
Kedua pimpinan itu siang-siang telah menyatakan dirinya seorang nasionalis, yang mencintai bangsa dan cinta kemerdekaan. Sejak mulai bergerak sampai hari proklamasi kemerdekaan, bahkan sampai mereka memegang kedudukan tinggi dalam negara sebagai Presiden dan Wakil Presiden, tetap mengaku seorang nasionalis.
Dan harus diakui pula bahwa sejak semula baik Bung Karno maupun Bung Hatta mengakui pula seorang Islam.
Tapi yang jelas, keduanya tidaklah orang yang lengkap ilmunya tentang keislaman, dipandang dari segi pandangan hidup dan cara berfikitnya maupun ide yang dianutnya, sama sekali tidaklah diwarnai oleh islam. Islam bagi mereka, hanyalah sebagai satu agama yang hanya berlaku bagi pribadi-pribadi penganutnya. Islam merupakan agama ibadah, penyembahan kepada Tuhan dan pengakuan tentang adanya Tuhan itu. Adapun pengetahuan terperinci tentang agama islam, katakanlah seperti Ilmu Hadits, Ilmu Al Quran, Ilmu Tauhid, Ilmu Fqih, Ilmu Ushul Fiqih, Ilmu Akhlaq dan seterusnya, tidaklah dikuasai oleh mereka.
Pengetahuan dan pengertian tentang islam, tidak mudah sebagaimana dianggap orang islam sukar juga mempelajarinya karena terlalu banyak simpang siur jalan yang dilalui. Tidak cukup lima tahun orang belajar tentang islam sehingga dapat disebut ulama. Paling sedikit 10 tahun bertekun di pesantren, belajar dengan Kiyai dan Syekh.
Pendidikan pesantren, amat diperlukan bagi seorang islam, kalau ia ingin menjadi seorang ulama, yang faham agama dari segala seginya, ya seorang muslim sejati.
Bayangkanlah Sukarno – Hatta, yang hanya belajar sambilan saja, dalam tempoh yang relatif singkat pula. Didalam riwayat hidupnya kita jumpai, Sukarno baru mulai mengenal ISLAM ialah ketika berada di Endeh (dalam pembuangan), yaitu dengan perantaraan surat-suratnya dengan almarhum A. Hasan guru Persis yang terkenal. Kemudian setelah ia dipindahkan ke Bengkulen mulai masuk menjadi anggota Muhammadiyah, bahkan ikut menjadi pengurusnya pula. Apakah selama di Bengkulen Bung Karno ada menambah ilmunya tentang islam tak tahulah kita. Tapi bagaimanapun juga , ilmunya tentang agama islam jauh berkurang dan sangat sedikit sekali. Wajarlah kalau Sukarno kurang menghayati agama islam.
Demikian pula Hatta, walaupun ia seorang turunan ulama dan disebutkan pernah belajar agama waktu di Bukittinggi dan mungkin pula waktu di Padang, tapi pelajarannya itu amat masih minim sekali. Berbagai ilmu dalam islam seperti disebutkan diatas, tidak dimilikinya.
Wajar pula lah kalau Hatta kurang menghayati pula agama islam secara keseluruhan. Tapi seperti diketahui, dirinya sendiri sangat tekun ibadah agama. Shalatnya amat khusyu dan lama. Ibadah ini benar-benar dihayatinya.
Tapi dalam islam bukanlah hanya shalat itu saja. Bagaimana pengetahuannya tentang islam dengan politik, islam dengan ekonomi, dengan filsafat, dengan kebudayaan dengan akhlak dan sebagainya? Mungkin belum banyak diketahui oleh Hatta.
Dan berdasarkan inilah sebenarnya kita menerima pertanyaan dari kedua orang besar itu, suatu yang aneh atau boleh dibilang gaib. Yaitu mereka tidak dapat menerima konsep Islam tentang ekonomi. Tidak bisa menerima pemerintahan menurut konsep islam.
Sebab islam itu dianggapnya sama saja dengan agama-agama lain, yaitu memisahkan agama dari politik dan negara. Agama adalah untuk akhirat semata, sedangkan politik, ekonomi, kebudyaan dan sebagainya itu, adalah untuk dunia. Islam hanya mengurus urusan akhirat.
Inilah suatu kekeliruan pandangan. Islam tidaklah hanya mengurus dunia, tetapi mengurus akhirat, atau sebaliknya bukan semata-mata mengurus akhirat tapi juga mengurus dunia.
Pendirian Sukarno – Hatta bersamaan tentang tidak bisa menerima negara kita berdasarkan islam.
Waktu Dewan Konstituante masih melakukan sidang-sidangnya membicarakan konstitusi negara, bertempurlah dua dasar. Ada dua usul yang dimajukan untuk menjadi dasar negara. ISLAM dan PANCASILA. Sudah tentu islam menjadi dasar negara didukung oleh seluruh partai islam. Dan Pancasila didukung oleh partai-partai nasional dan lainnya.
Presiden Sukarno menginginkan Pancasila. Karena itu, tanggal 5 Juli 1959, dikeluarkannyalah Dekrit. Dekrit membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Konstituante. Sebgaimana penggantinya dibentuk DPR Gotong royong serta MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementera). Juga pada hari itu, Presden menyatakan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, dan diakuinya Piagam Jakarta.
Kalau Hatta masih mendampingi Sukarno, belum tentu Sukarno seberani itu bertingkah dan menyatakan pendiriannya, main bubar itu. Membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Konstituante dan membubarkan Masyumi dan PSI, menyatakan Pancasila menjadi dasar negara dan mengenyampingkan saja Islam yang didukung jumlah terbesar.
Memang, sejak dahulu sudahlah diketahui bahwa Sukarno Hatta kurang simpatiknya terhadap islam itu. Bahkan tidak setuju sama sekali kalau Islam dijadikan dasar negara atau masuk menjadi undang-undang negara.
Sukarno berkata di Amuntai, kalau islam dijadikan dasar negara kita, akan pecahlah persatuan kita.
Sebab pemeluk-pemeluk agama lain tidak akan menyukainya dan menentangnya.
Pendirian Hatta pun demikian pula.
Bukankah 7 kalimat dalam Piagam Jakarta yang terkenal itu, Hatta sendiri yang mencoretnya karena mengindahkan tuntutan dari lain agama. Tujuh kalimat itu : “Dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya”.
Kata ini dapat dianggap berbahaya, sehingga perlu dicoret. Padahal menurut pendapat kita, apalah bahanya. Kewajiban menjalankan syariat islam itu, kan hanya untuk ummat islam bukan untuk seluruh penduduk.
Yang paling janggal ialah Islamnya Bung Karno. Ia mempersatukan Islam dengan Komunisme, padahal keduanya amat bermusuhan.
Tapi karena Bung Karno memang kurang memahami ajaran-ajaran islam, baginya dianggap enteng saja perbedaan pendirian Islam denga pendirian Komunis itu. Yang jelas pendirian tentang Ketuahanan, sangat tidak bisa disatukan antara keduanya. Bagaimana bisa disatukan didalam diri seorang faham ada Tuhan dengan faham tidak ada Tuhan. Satu faham kita harus beragama dengan faham agama adalah candu rakyat.
Tapi mati-matian Sukarno tetap berkata nasionalis, Islam dan Komunisme harus bisa disatukan. Dan itulah NASAKOM yang dipuja-puja sewaktu Sukarno berkuasa penuh di Indonesia. Ketika orde baru mulai berdiri, dibawah pimpinan Presiden Soeharto, ada gejala Hatta diusulkan akan tampil memimpin partai baru yaitu PARTAI SOSIALIS ISLAM. Tapi hal ini tak sampai menjadi.
Waktu itu sedang asyiknya orang memperkatakan soal partai. Masyumi ingin direhabilitir kembali, tapi oleh Presiden yang dapat dibenarkan ialah suatu wadah bagi ummat islam sebgai partai politik. Maka lahirlah Partai Muslimin yang bekedudukan sebgai pengganit Masyumi yang telah dibubarkan rezim Sukarno.
Partai Muslimin inilah kemudian yang menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebagai penyaluran ideologi islam.
Akhirul Kalam, semenjak Hatta meninggalkan kedudukannya, terlalu banyak peristiwa yang mengejutkan terjadi. Dan peristiwa-peristiwa itu, banyak sekali membawa kerugian bagi rakyat dan bangsa kita.
Penulis mengira, Hatta yang sudah berusia lanjut, tentu tak mungkin lagi diharapkan akan tampil memimpin bangsanya secara aktif.
Kalau ada sesuatu yang ingin dilakukannya dalam kegiatan politik, tentu tak ada lagi kekuatannya. (Tamar Djaja, 1981 ; Hal. 231 – 235)