Suatu pertanyaan besar yang sangat sukar menjawabnya, ialah bagaimana
Sukarno – Hatta itu dipandang dari segi agama islam dalam perjuangannya.
Kedua pimpinan itu siang-siang telah menyatakan dirinya seorang nasionalis,
yang mencintai bangsa dan cinta kemerdekaan. Sejak mulai bergerak sampai hari
proklamasi kemerdekaan, bahkan sampai mereka memegang kedudukan tinggi dalam
negara sebagai Presiden dan Wakil Presiden, tetap mengaku seorang nasionalis.
Dan harus diakui pula bahwa sejak semula baik Bung Karno maupun Bung Hatta
mengakui pula seorang Islam.
Tapi yang jelas, keduanya tidaklah orang yang lengkap ilmunya tentang
keislaman, dipandang dari segi pandangan hidup dan cara berfikitnya maupun ide
yang dianutnya, sama sekali tidaklah diwarnai oleh islam. Islam bagi mereka,
hanyalah sebagai satu agama yang hanya berlaku bagi pribadi-pribadi
penganutnya. Islam merupakan agama ibadah, penyembahan kepada Tuhan dan
pengakuan tentang adanya Tuhan itu. Adapun pengetahuan terperinci tentang agama
islam, katakanlah seperti Ilmu Hadits, Ilmu Al Quran, Ilmu Tauhid, Ilmu Fqih, Ilmu
Ushul Fiqih, Ilmu Akhlaq dan seterusnya, tidaklah dikuasai oleh mereka.
Pengetahuan dan pengertian tentang islam, tidak mudah sebagaimana dianggap
orang islam sukar juga mempelajarinya karena terlalu banyak simpang siur jalan
yang dilalui. Tidak cukup lima tahun orang belajar tentang islam sehingga dapat
disebut ulama. Paling sedikit 10 tahun bertekun di pesantren, belajar dengan
Kiyai dan Syekh.
Pendidikan pesantren, amat diperlukan bagi seorang islam, kalau ia ingin
menjadi seorang ulama, yang faham agama dari segala seginya, ya seorang muslim
sejati.
Bayangkanlah Sukarno – Hatta, yang hanya belajar sambilan saja, dalam
tempoh yang relatif singkat pula. Didalam riwayat hidupnya kita jumpai, Sukarno
baru mulai mengenal ISLAM ialah ketika berada di Endeh (dalam pembuangan),
yaitu dengan perantaraan surat-suratnya dengan almarhum A. Hasan guru Persis
yang terkenal. Kemudian setelah ia dipindahkan ke Bengkulen mulai masuk menjadi
anggota Muhammadiyah, bahkan ikut menjadi pengurusnya pula. Apakah selama di
Bengkulen Bung Karno ada menambah ilmunya tentang islam tak tahulah kita. Tapi
bagaimanapun juga , ilmunya tentang agama islam jauh berkurang dan sangat
sedikit sekali. Wajarlah kalau Sukarno kurang menghayati agama islam.
Demikian pula Hatta, walaupun ia seorang turunan ulama dan disebutkan
pernah belajar agama waktu di Bukittinggi dan mungkin pula waktu di Padang,
tapi pelajarannya itu amat masih minim sekali. Berbagai ilmu dalam islam
seperti disebutkan diatas, tidak dimilikinya.
Wajar pula lah kalau Hatta kurang menghayati pula agama islam secara
keseluruhan. Tapi seperti diketahui, dirinya sendiri sangat tekun ibadah agama.
Shalatnya amat khusyu dan lama. Ibadah ini benar-benar dihayatinya.
Tapi dalam islam bukanlah hanya shalat itu saja. Bagaimana pengetahuannya
tentang islam dengan politik, islam dengan ekonomi, dengan filsafat, dengan
kebudayaan dengan akhlak dan sebagainya? Mungkin belum banyak diketahui oleh
Hatta.
Dan berdasarkan inilah sebenarnya kita menerima pertanyaan dari kedua orang
besar itu, suatu yang aneh atau boleh dibilang gaib. Yaitu mereka tidak dapat
menerima konsep Islam tentang ekonomi. Tidak bisa menerima pemerintahan menurut
konsep islam.
Sebab islam itu dianggapnya sama saja dengan agama-agama lain, yaitu
memisahkan agama dari politik dan negara. Agama adalah untuk akhirat semata,
sedangkan politik, ekonomi, kebudyaan dan sebagainya itu, adalah untuk dunia.
Islam hanya mengurus urusan akhirat.
Inilah suatu kekeliruan pandangan. Islam tidaklah hanya mengurus dunia,
tetapi mengurus akhirat, atau sebaliknya bukan semata-mata mengurus akhirat
tapi juga mengurus dunia.
Pendirian Sukarno – Hatta bersamaan tentang tidak bisa menerima negara kita
berdasarkan islam.
Waktu Dewan Konstituante masih melakukan sidang-sidangnya membicarakan
konstitusi negara, bertempurlah dua dasar. Ada dua usul yang dimajukan untuk menjadi
dasar negara. ISLAM dan PANCASILA. Sudah tentu islam menjadi dasar negara
didukung oleh seluruh partai islam. Dan Pancasila didukung oleh partai-partai
nasional dan lainnya.
Presiden Sukarno menginginkan Pancasila. Karena itu, tanggal 5 Juli 1959, dikeluarkannyalah
Dekrit. Dekrit membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Konstituante.
Sebgaimana penggantinya dibentuk DPR Gotong royong serta MPRS (Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementera). Juga pada hari itu, Presden menyatakan kembali
kepada Undang-Undang Dasar 1945, dan diakuinya Piagam Jakarta.
Kalau Hatta masih mendampingi Sukarno, belum tentu Sukarno seberani itu
bertingkah dan menyatakan pendiriannya, main bubar itu. Membubarkan Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Konstituante dan membubarkan Masyumi dan PSI,
menyatakan Pancasila menjadi dasar negara dan mengenyampingkan saja Islam yang
didukung jumlah terbesar.
Memang, sejak dahulu sudahlah diketahui bahwa Sukarno Hatta kurang
simpatiknya terhadap islam itu. Bahkan tidak setuju sama sekali kalau Islam
dijadikan dasar negara atau masuk menjadi undang-undang negara.
Sukarno berkata di Amuntai, kalau islam dijadikan dasar negara kita, akan
pecahlah persatuan kita.
Sebab pemeluk-pemeluk agama lain tidak akan menyukainya dan menentangnya.
Pendirian Hatta pun demikian pula.
Bukankah 7 kalimat dalam Piagam Jakarta yang terkenal itu, Hatta sendiri
yang mencoretnya karena mengindahkan tuntutan dari lain agama. Tujuh kalimat
itu : “Dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya”.
Kata ini dapat dianggap berbahaya, sehingga perlu dicoret. Padahal menurut
pendapat kita, apalah bahayanya. Kewajiban menjalankan syariat islam itu, kan
hanya untuk ummat islam bukan untuk seluruh penduduk.
Yang paling janggal ialah Islamnya Bung Karno. Ia mempersatukan Islam
dengan Komunisme, padahal keduanya amat bermusuhan.
Tapi karena Bung Karno memang kurang memahami ajaran-ajaran islam, baginya
dianggap enteng saja perbedaan pendirian Islam denga pendirian Komunis itu. Yang
jelas pendirian tentang Ketuhanan, sangat tidak bisa disatukan antara keduanya.
Bagaimana bisa disatukan didalam diri seorang faham ada Tuhan dengan faham
tidak ada Tuhan. Satu faham kita harus beragama dengan faham agama adalah candu
rakyat.
Tapi mati-matian Sukarno tetap berkata Nasionalis, Islam dan Komunisme
harus bisa disatukan. Dan itulah NASAKOM yang dipuja-puja sewaktu Sukarno
berkuasa penuh di Indonesia. Ketika orde baru mulai berdiri, dibawah pimpinan
Presiden Soeharto, ada gejala Hatta diusulkan akan tampil memimpin partai baru
yaitu PARTAI SOSIALIS ISLAM. Tapi hal ini tak sampai menjadi.
Waktu itu sedang asyiknya orang memperkatakan soal partai. Masyumi ingin
direhabilitir kembali, tapi oleh Presiden yang dapat dibenarkan ialah suatu
wadah bagi ummat islam sebgai partai politik. Maka lahirlah Partai Muslimin
yang bekedudukan sebagai pengganit Masyumi yang telah dibubarkan rezim Sukarno.
Partai Muslimin inilah kemudian yang menjadi Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), sebagai penyaluran ideologi islam.
Akhirul Kalam, semenjak Hatta meninggalkan kedudukannya, terlalu banyak
peristiwa yang mengejutkan terjadi. Dan peristiwa-peristiwa itu, banyak sekali
membawa kerugian bagi rakyat dan bangsa kita.
Penulis mengira, Hatta yang sudah berusia lanjut, tentu tak mungkin lagi
diharapkan akan tampil memimpin bangsanya secara aktif.
Kalau ada sesuatu yang ingin dilakukannya dalam kegiatan politik, tentu tak
ada lagi kekuatannya. (Tamar Djaja, 1981 ; Hal. 231 – 235)