Dok : Bedah Buku "Kuasa Ramalan ; Peter Carey" Rabu, 25 April 2012
Gedung Bale Santika Universitas Padjadjaran Jatinangor
Dok : Bedah Buku "Kuasa Ramalan ; Peter Carey" Rabu, 25 April 2012Gedung Bale Santika Universitas Padjadjaran Jatinangor
Ihwal cikal bakal gerakan kebangsaan ini disadari oleh Frans Gerhardus
Valck (1977 – 1842), seorang pejabat tinggi Belanda yang pernah berdinas di
sejumlah keresidenan di Jawa tengah-selatan selama dua dasawarsa yang mencakup masa
perang Jawa dan sesudahnya. Beginilah ia menulis pada 1840 :
“Masa tugas
(saya) selama hampir dua puluh tahun di berbagai keresidenan telah memberi saya
pelajaran bahwa semangat rakyat biasa Jawa bersifat menentang kita, bukan
karena kita orang Belanda memperlakukan dia dengan buruk tapi dia diresapi rasa
kebangsaan .......... kendati segala keuntungan yang ia dapat dari kita, ia
tidak dapat meniadakan hasrat untuk diperintah oleh penguasanya sendiri meski
mereka mungkin akan memerintah dengan lebih buruk (dari pada kita) ...... ia
terus saja melihat dalam diri kita sosok penguasa asing yang zalim, yang sangat
berbeda dengan dirinya secara moral, adat–istiadat agama, cara berpakaian, dst.
Sekadar melihat orang Eropa saja sudah mengingatkan dia akan suasana yang sarat
penghinaan (dan) ia tidak tahan untuk menatap benci dan memandang rendah
manakala ia merasa dapat berbuat demikian tanpa dihukum.”.
Valck bukan satu-satunya yang berpandangan demikian. Pengamat yang jeli, seperti
ahli hukum Willem van Hogendorp (1795 – 1838), yang bertugas sebagai pejabat
tinggi dalam pemerintahan Komisaris – Jenderal L.P.J. du Bus de Gisignies
(menjabat, 1826 – 1830) selama Perang Jawa, mengungkapkan kecemasannya dalam
surat menyurat dengan ayahnya pada tahun 1827 – 1829.
Benang merah “nasionalisme” yang anti–Belanda ini, jika disebut demikian
dalam masalah sedini itu, akan dipaparkan lebih jauh dalam Perang Jawa.
Kerawanan budaya yang merupakan dampak imperialisme Eropa yang baru pada awal
abad kesembilan belas atas Jawa tengah-selatan merupakan salah satu pokok
kajian buku Kuasa Ramalan. Selain itu, buku itu juga berusaha memberi
penjelasan atas berbagai peristiwa dari sudut pandang tokoh utamanya,
Diponegoro. Sebagai tokoh peralihan yang menentukan, ia hidup selama terjadi
perubahan dari tatanan lama Jawa abad kedelapan belas ke masa “kolonial tinggi”
yang berlandaskan revolusi rangkap di bidang politik dan industri yang mengubah
Eropa selama masa hidupnya.
Dalam banyak hal, Diponegoro yang merupakan tokoh tradisional yang secara
mendalam meresapkan nilai-nilai budaya Jawa pra-moderen, khususnya nilai-nilai
lingkungan keraton-keraton Jawa tengah–selatan, juga mewartakan masa depan.
Dalam hal ini orang merujuk penggunaan Islam Jawa yang dilakukannya, khususnya
tradisi mesianismenya, sebagai cara menempa jati diri baru bagi kaum muslim Jawa
di masa runtuhnya tatanan Jawa lama. Diponegoro hidup dalam suatu dunia yang
terpisah oleh jurang yang semakin dalam antara mereka yang siap menyesuaikan
diri dengan manfaat Eropa baru dan mereka yang memandang tatanan nilai Islami
(agama Islam) sebagai kaidah hidup dalam suatu masyarakat yang telah kehilangan
pegangan tradisionalnya.
Perang Jawa menimbulkan dorongan bagi suatu perkembangan yang masih
berlangsung dalam masyarakat Indonesia mederen dewasa ini : itulah penyerapan
nilai-nilai Islami ke dalam jati diri Jawa dan Indonesia di zamannya. Pandangan
hidup Diponegoro juga mencakup kepedulian yang khas di zamananya mengenai cara
bagaimana kaum muslim Jawa selayaknya hidup saat Barat Imperialis berkuasa.
Berbeda dari pandangan kaum muslim indonesia kini, bagi Diponegoro, Jawaban
tampaknya terletak dalam pengobaran perang suci dan pengembangan suatu
pemisahan yang tegas, yang makin nyata selama lima tahun perjuangannya, antara
wong Islam (umat Islam), orang Eropa kapir
laknatulloh, dan orang Jawa kapir murtad (yang bersekutu dengan
Belanda). Namun terdapat juga keprihatinan pribadi Pangeran yang sangat
mendalam mengenai kelestarian nilai-nilai khas Jawa yang terungkap dalam
bahasa, pakaian, dan patokan budaya, sebagaimana terpantul paling jelas pada
perlakuannya terhadap orang Belanda yang tertawan selama Perang Jawa. Pun para
tawanan Belanda waktu perang diharapkan mengenakan busana Jawa dan berbicara
kepada yang menawan mereka bukan dengan
bahasa kasar negara kolonial baru itu – “Melayu dinas” – tapi dengan bahasa Jawa
halus (krama), bahasa para petinggi keraton. Meski menetapkan busana, dan memberikan
pangkat, Turki Usmani seperti “Ali Basah” (Pasha Tinggi) buat para panglima
tertingginya, Diponegoro bukanlah pembaharu Islam. Sebaliknya, ia seorang muslim
Jawa tradisional yang tidak mengenal pertentangan antara dunia kerohanian Jawa
dan keanggotaanya dalam umat internasional yang pusat kerohanian serta budaya
politiknya adalah Hejaz (Arab saudi sekarang ini) dan Turki Usmani. Diponegoro
tidak berhasil mencapai tujuannya untuk memulihkan kebesaran agama Islam di Jawa.
Sesungguhnya, martabat dan keutuhan yang ia perjuangkan bagi umat Jawa hanya
akan tercapai secara lahiriah sembilan puluh tahun setelah ia wafat dengan proklamasi
kemerdekaan politik dari pemerintah kolonial Belanda pada 1945. Tapi, wawasan
moralnya yang lebih luas untuk memperoleh tempat terhormat bagi Islam dalam
kehidupan bangsanya, masih terus diusahakan dalam masa pertentangan global yang
tidak pernah terjadi sebelumnya, antara apa yang dianggap oleh masyarakat Islam
sebagai nilai-nilai “materialistik” Barat dan pengelompokkan beranak-pinak
dalam umat muslim dunia.
Spesifikasi Buku:
Judul : Kuasa Ramalan : Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855
Pengarang : Peter Carey
ISBN : 9789799103956
KPG : 901110489
Ukuran : 230 x 150 cm
Halaman : 892 halaman
Harga : Rp 250,000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar