Kamis, 04 Oktober 2012

PETER CAREY : PERANG JAWA DAN CIKAL BAKAL GERAKAN KEBANGSAAN



 Dok : Bedah Buku "Kuasa Ramalan ; Peter Carey" Rabu, 25 April 2012
Gedung Bale Santika Universitas Padjadjaran Jatinangor

 Dok : Bedah Buku "Kuasa Ramalan ; Peter Carey" Rabu, 25 April 2012Gedung Bale Santika Universitas Padjadjaran Jatinangor

Ihwal cikal bakal gerakan kebangsaan ini disadari oleh Frans Gerhardus Valck (1977 – 1842), seorang pejabat tinggi Belanda yang pernah berdinas di sejumlah keresidenan di Jawa tengah-selatan selama dua dasawarsa yang mencakup masa perang Jawa dan sesudahnya. Beginilah ia menulis pada 1840 :
“Masa tugas (saya) selama hampir dua puluh tahun di berbagai keresidenan telah memberi saya pelajaran bahwa semangat rakyat biasa Jawa bersifat menentang kita, bukan karena kita orang Belanda memperlakukan dia dengan buruk tapi dia diresapi rasa kebangsaan .......... kendati segala keuntungan yang ia dapat dari kita, ia tidak dapat meniadakan hasrat untuk diperintah oleh penguasanya sendiri meski mereka mungkin akan memerintah dengan lebih buruk (dari pada kita) ...... ia terus saja melihat dalam diri kita sosok penguasa asing yang zalim, yang sangat berbeda dengan dirinya secara moral, adat–istiadat agama, cara berpakaian, dst. Sekadar melihat orang Eropa saja sudah mengingatkan dia akan suasana yang sarat penghinaan (dan) ia tidak tahan untuk menatap benci dan memandang rendah manakala ia merasa dapat berbuat demikian tanpa dihukum.”.
Valck bukan satu-satunya yang berpandangan demikian. Pengamat yang jeli, seperti ahli hukum Willem van Hogendorp (1795 – 1838), yang bertugas sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahan Komisaris – Jenderal L.P.J. du Bus de Gisignies (menjabat, 1826 – 1830) selama Perang Jawa, mengungkapkan kecemasannya dalam surat menyurat dengan ayahnya pada tahun 1827 – 1829.
Benang merah “nasionalisme” yang anti–Belanda ini, jika disebut demikian dalam masalah sedini itu, akan dipaparkan lebih jauh dalam Perang Jawa. Kerawanan budaya yang merupakan dampak imperialisme Eropa yang baru pada awal abad kesembilan belas atas Jawa tengah-selatan merupakan salah satu pokok kajian buku Kuasa Ramalan. Selain itu, buku itu juga berusaha memberi penjelasan atas berbagai peristiwa dari sudut pandang tokoh utamanya, Diponegoro. Sebagai tokoh peralihan yang menentukan, ia hidup selama terjadi perubahan dari tatanan lama Jawa abad kedelapan belas ke masa “kolonial tinggi” yang berlandaskan revolusi rangkap di bidang politik dan industri yang mengubah Eropa selama masa hidupnya.
Dalam banyak hal, Diponegoro yang merupakan tokoh tradisional yang secara mendalam meresapkan nilai-nilai budaya Jawa pra-moderen, khususnya nilai-nilai lingkungan keraton-keraton Jawa tengah–selatan, juga mewartakan masa depan. Dalam hal ini orang merujuk penggunaan Islam Jawa yang dilakukannya, khususnya tradisi mesianismenya, sebagai cara menempa jati diri baru bagi kaum muslim Jawa di masa runtuhnya tatanan Jawa lama. Diponegoro hidup dalam suatu dunia yang terpisah oleh jurang yang semakin dalam antara mereka yang siap menyesuaikan diri dengan manfaat Eropa baru dan mereka yang memandang tatanan nilai Islami (agama Islam) sebagai kaidah hidup dalam suatu masyarakat yang telah kehilangan pegangan tradisionalnya. 

Perang Jawa menimbulkan dorongan bagi suatu perkembangan yang masih berlangsung dalam masyarakat Indonesia mederen dewasa ini : itulah penyerapan nilai-nilai Islami ke dalam jati diri Jawa dan Indonesia di zamannya. Pandangan hidup Diponegoro juga mencakup kepedulian yang khas di zamananya mengenai cara bagaimana kaum muslim Jawa selayaknya hidup saat Barat Imperialis berkuasa. Berbeda dari pandangan kaum muslim indonesia kini, bagi Diponegoro, Jawaban tampaknya terletak dalam pengobaran perang suci dan pengembangan suatu pemisahan yang tegas, yang makin nyata selama lima tahun perjuangannya, antara wong  Islam (umat Islam), orang Eropa kapir laknatulloh, dan orang Jawa kapir murtad (yang bersekutu dengan Belanda). Namun terdapat juga keprihatinan pribadi Pangeran yang sangat mendalam mengenai kelestarian nilai-nilai khas Jawa yang terungkap dalam bahasa, pakaian, dan patokan budaya, sebagaimana terpantul paling jelas pada perlakuannya terhadap orang Belanda yang tertawan selama Perang Jawa. Pun para tawanan Belanda waktu perang diharapkan mengenakan busana Jawa dan berbicara kepada yang menawan  mereka bukan dengan bahasa kasar negara kolonial baru itu – “Melayu dinas” – tapi dengan bahasa Jawa halus (krama), bahasa para petinggi keraton. Meski menetapkan busana, dan memberikan pangkat, Turki Usmani seperti “Ali Basah” (Pasha Tinggi) buat para panglima tertingginya, Diponegoro bukanlah pembaharu Islam. Sebaliknya, ia seorang muslim Jawa tradisional yang tidak mengenal pertentangan antara dunia kerohanian Jawa dan keanggotaanya dalam umat internasional yang pusat kerohanian serta budaya politiknya adalah Hejaz (Arab saudi sekarang ini) dan Turki Usmani. Diponegoro tidak berhasil mencapai tujuannya untuk memulihkan kebesaran agama Islam di Jawa. Sesungguhnya, martabat dan keutuhan yang ia perjuangkan bagi umat Jawa hanya akan tercapai secara lahiriah sembilan puluh tahun setelah ia wafat dengan proklamasi kemerdekaan politik dari pemerintah kolonial Belanda pada 1945. Tapi, wawasan moralnya yang lebih luas untuk memperoleh tempat terhormat bagi Islam dalam kehidupan bangsanya, masih terus diusahakan dalam masa pertentangan global yang tidak pernah terjadi sebelumnya, antara apa yang dianggap oleh masyarakat Islam sebagai nilai-nilai “materialistik” Barat dan pengelompokkan beranak-pinak dalam umat muslim dunia. 


Spesifikasi Buku:
Judul : Kuasa Ramalan : Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855
Pengarang : Peter Carey
ISBN : 9789799103956
KPG : 901110489
Ukuran : 230 x 150 cm
Halaman : 892 halaman
Harga : Rp 250,000

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar