Rabu, 26 September 2012

SEJARAH PERJUANGAN PERSIS CIRENGIT (1940 - 2008) Bag.1



A.      AWAL MASUKNYA PERSIS KE CIRENGIT
Pada tahun 1920-an di Cirengit telah berdiri sebuah pesantren di kampung Cirengit Kecamatan Banjaran dengan tokoh ulamanya adalah Ajengan Mamun. Sejak saat itu sampai tahun 1940-an kampung Cirengit dikenal sebagai kampung santri. Para santrinya kebanyakan berusia pemuda yang sering membahas kitab-kitab Syafi’iyyah dengan mempergunakan metoda sorogan dan bandongan.
Ketokohan Ajengan Mamun, sebagaimana lazimnya tokoh dalam khazanah budaya Nahdhatul Ulama, sangat melekat erat dalam kehidupan masyarakat, terkadang segala persoalan pun datang kepadanya, demikian pula perkataan Ajengan pun sering menjadi rujukan pertama dan utama.
Pada tahun 1940-an di Cirengit kedatangan sebuah paham agama baru yang dibawa oleh orang-orang yang sering pergi ke Bandung, diantaranya adalah Endeng dan Embing. Mereka menyebarkan paham tersebut kepada masyarakat Cirengit, tetapi tidak dapat disertai dengan dalil. Mereka hanya dapat berkata bahwa itu bid’ah, tidak ada contohnya, itu syirik, dll.
Walaupun disampaikan dalam berbagai kesempatan tetapi masyarakat Cirengit tidak ada yang menanggapi karena pertama itu datang dari pendatang, kedua mereka tidak mampu membawakan dalilnya, sehingga masyarakat Cirengit pada waktu itu, terutama para tokoh agamanya tidak peduli terhadap ajaran itu bahkan ada ungkapan “Ah eta mah datangna oge ti sahandapeun” (maksudya ilmunya), “ ah eta mah bacaanna oge tina Koran”, mengapa?, karena mereka terbiasa membaca kitab Safinah dan Fathul Muin sebagai kitab rujukan utama, sedangkan yang membawa ajaran baru tidak memiliki latar belakang keilmuan seperti itu.
Pada tahun 1942-an ada orang Cirengit yang terbuka (moderat) yang mencoba memahami dakwah kedua orang tersebut diatas, yaitu H. Adam, seorang pemuda lulusan sekolah agama dan melanjutkan ke Pesantren Sukamiskin Bandung. H. Adam menyambut ajaran tersebut dan mendorong agar kedua orang diatas membawakan sumber bacaannya : “Sudah saja sekarang bawa buku-bukunya agar tokoh agama disini dapat membaca dalil-dalinya”.
 Endeng dan Embing membawakan beberapa majalah Persatuan Islam tahun 30-an seperti, Pembela Islam, Al-Fatwa, Majalah Al-Lisan dan At-Taqwa dan disampaikan kepada tokoh-tokoh agamanya melalui H. Adam.
Tahun 1943-1945 terjadi berbagai polemik keagamaan di Cirengit menyusul adanya penguatan dukungan terhadap paham baru tadi, polemik tersebut tidak jarang berujung kepada perselisihan terbuka dan saling mencibir bahkan tidak jarang hampir mendekati perkelahian.
Pada dasarnya Cirengit tidak mengenal Persatuan Islam sebagai sebuah organisasi, mereka hanya mengenalnya dalam konteks pemahaman yang baru terhadap ajaran agama islam yang selama ini diamalkan.
Kalaupun pada akhirnya mereka mengenal sosok Ust. A. Hasan, Ust. Qomarudin Saleh, Ust. E. Abdurahman, Moh. Natsir dll, mereka hanya mengenal sebagai penulis di majalah-majalah tadi. Mereka tidak mengetahui bahwa paham yang sedang diminati dan diamalkannya itu adalah paham Persis.
Demikian pula ketika berinteraksi dan menyebarkan paham tersebut mereka tidak berhubungan dengan penyebaran Persis bahkan dalam berbagai kesempatan, kelompok pembaharu di Cirengit tetap mempergunakan Madzhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Banyak kebiasaan ibadah masyarakat Cirengit yang dikritik terutama Talafudz Bin Niat dan over ganjaran. Didalam penyampaian dan metoda pendekataannya seringkali berbeda-beda, orang-orang yang berpaham baru ini ada yang berdakwah dengan metoda dan pendekatan secara kekeluargaan/luwes, tetapi ada pula yang lugas, bahkan ada yang konfrontatif.
Hanya saja walaupun telah timbul dan berkembang polemik sekaligus perselisihan karena perbedaan pemahaman agama, kelompok pembaharu belum mampu memisahkan diri dari masjid golongan tradisional, mereka masih bergabung dengan aktivitas ibadah golongan tradisional karena belum memiliki masjid sendiri, apalagi pada waktu itu masih ada larangan/ketidakbolehan mendirikan masjid kecuali atas ijin Naib Kecamatan.
Sadar bahwa mereka belum dapat lepas dari masjid sepuh maka mereka pun mulai merubah metoda dakwah yang cenderung lebih luwes tapi tetap lugas dari segi prinsip, satu contoh adalah ketika di masjid tersebut diadakan Muludan, mereka (kaum pembaharu) datang paling awal dan sengaja menempati jajaran terdepan, agar bisa mengikuti posesi upacara sampai pada akhirya mereka meminta waktu untuk turut berbicara mengenai hukum Muludan.
Pola pendekatan yang lebih berani dan terbuka ini tetap disampaikan secara luwes tanpa memojokan satu golongan tertentu, mereka lebih menitikberatkan kepada kekuatan argumentasi yang disertai dalil dan referensi yang biasa dipakai oleh golongan tradisional, sehingga sedikit banyaknya, turut mempengaruhi kebiasaan dan tata cara ibadah di masjid, bahkan golongan pembaharu telah mempunyai daya tawar untuk turut menentukan kebijakan di masjid tersebut, seperti jadwal Imam/Khotib Jum’at bergilir adzan jum’at menjadi satu kali.
Tetapi perubahan tersebut tidak secara langsung merubah orientasi pemahamannya menjadi Qur’an Sunnah, perubahan ini baru berada pada tataran toleransi dari Ajengan Mamun kepada kelompok pembaharu, seolah ada kesan sikap mendua, di depan seolah menerima paham pembaharu tetapi dibelakang tetap bersiteguh pada paham tradisional. Suasana seperti itu telah mendorong terhadap keperluan untuk memiliki masjid sendiri. 
Pada tahun 1947-an Naib Kecamatan berasal dari Partai Masyumi yaitu Naib Mohamad Adang, seorang Ketua Anak Cabang Masyumi Banjaran yang berkantor di rumah Ajengan Jamhur Kiangroke. Adang memiliki Wakil Ketua yang bernama Wiryanapura dan Sekretaris Jenderalnya H. Adam.
Dari hubungan ini telah memberikan efek pararel diantara Wiryanapura dan H. Adam dikemudian hari, pada saat itu diantara kedua orang ini belum mengenal secara akrab satu sama lain, mereka hanya mengenal sebagai aktivis partai dan sering bertemu untuk membicarakan partai.
H. Adam mencoba memanfaatkan kehadiran Naib Adang untuk memperlancar keperluan kelompok pembaharu di Cirengit, dengan alasan mengundang untuk shalat Jum’at di Cirengit, H. Adam ingin Naib Adang secara langsung dapat melihat sendiri jumlah pengunjung masjid tersebut begitu membludak, dari sini H. Adam menyampaikan maksudnya agar dijinkan untuk mendirikan masjid disebelah utara dengan alasan bahwa masjid disini sudah tidak mampu menampung pengunjungnya, Naib Adang pun kemudian mengijinkan.
Berbekal ijin diatas, maka H. Adam dan kawan-kawan mendirikan mushola berukuran 4 x 6 m2 (cikal bakal Masjid Persis Cirengit sekarang). Aktivitas shalat berjama’ah dapat dilakukan di mushola ini sampai pada akhirnya shalat jum’at pun mulai diselenggarakan disana walau dengan jumlah jama’ah yang kurang dari 40 orang.
Pada tahun 1948 H. Muhtar mewakafkan sebidang tanah untuk dijadikan tempat sekolah agama anak-anak (madrasah) bersamaan dengan berdirinya Negara Pasundan. Madrasah yang dibangun dari hasil swadaya masyarakat itu dapat menampung jumlah anak kurang lebih 150 orang, mulai dari Pak Ejeb Cirengit kulon sampai dengan Pak Ejeb Cirengit wetan semua mengenal madrasah tersebut, madrasah itu pula yang dijadikan pos jaga masyarakat ketika berdirinya Negara Pasundan bentukan Belanda, bahkan madrasah ini pun pernah diserang Belanda karena dikira markas pejuang, sering pula Tentara Pendudukan (TP) berpatroli dari Bojong Buah ke Cirengit sengaja lewat madrasah ini.
Pada awal tahun 1954 madrasah ini bermaksud menyelenggarakan imtihan, untuk mempersiapkannya mereka berembuk beberapa kali yang diputuskan akan mengadakan imtihan dan ditutup oleh pengajian dimana ustadnya Ust. Abdurahman. Dalam pertemuan di madrasah tersebut telah disepakati pula bahwa yang menghubungi ustadznya adalah H. Adam. H. Adam pun berangkat ke Pameutingan Pameungpeuk dengan mengendarai sepeda menemui salah seorang staf PP. Persis yang tinggal di Pameutingan, Muhamad Soleh. Pada saat itu Muhamad Soleh langsung menanyakan apakah di Cirengit sudah ada anggota, lalu dijawab belum bahkan tidak tahu anggota untuk apa dan apa keperluan menjadi anggota tersebut. Lalu Soleh menjelaskan bahwa Ust. Abdurahman itu adalah salah seorang staf PP. Persis, sehingga wajar sekaligus penghormatan apabila yang mengundang itu datang dari anggota Persatuan Islam bahkan kalau memungkinkan langsung saja dibentuk cabangnya karena persyaratan minimal jumlah anggota untuk dapat berdiri sebuah cabang hanya lima orang.
Hasil pertemuan itu dibawa ke dalam rapat di rumah Marzuki yang melahirkan kesepakatan untuk mendaftarkan diri menjadi anggota Persatuan Islam. Jadi yang pertama kali menjadi anggota Persis di Cirengit adalah Marzuki, H. Mahfud, H. Adam, H. Muhtar, dan Endeng kemudian diikuti oleh masyarakat Cirengit lainnya yang jumlahnya melampaui 50 orang. 
Pada juli 1954 bersamaan dengan pengajian Ust. Abdurahman, di Madrasah Cirengit diselenggarakan pendirian sekaligus pelantikan PC Persatuan Islam Cirengit dengan Ketua Marzuki, dan Sekretaris H. Adam dan PC Persistri Cirengit dengan Ketua Hj. Halimah istri H. Mahfud dengan sekretariat di Madrasah Persis Cirengit. (sekarang Madrasah yang di pakai RA).
Pada masa-masa awal ini belum ada hubungan yang erat antara Cirengit dan Banjaran, hubungan pada saat itu boleh dikatakan masih terpisah satu sama lain sekaligus adanya perbedaan dinamika kemasyarakatan diantara keduanya. Bersambung……………. (Sumber : Nurdin, Kurniawan “Sejarah Perjuangan Persatuan Islam Banjaran (1942-1983)”. PC Pemuda Persis Banjaran, Bandung; 2003.).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar