Kamis, 27 September 2012

Soekarno mencicipi wanita


Menyambung tulisan saya yang terdahulu tentang Sukarno "Senang Wanita", kali ini saya akan membahas cerita yang lainnya mengenai kehidupan Sukarno dan wanita. Kali ini saya akan mengutip pernyataan Sukarno dalam buku "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat" karya Cindy Adams tahun 1966.  

Pada waktu ratu kecantikan Universitas Hawai mengalungkan bunga kepada saya, lalu menciumku, saya bertanya. Bagaimana saya harus membalasnya?
Balaslah ciumannya bisik pengiringku Laksamana Felt. Kalau tidak begitu, tuan menyakiti hatinya. Sudah tentu saya tidak mau menyakiti hatinya. Jawabku gembira, dan dengan cara seorang Presiden kucium kedua pipinya dengna halus seperti juga kepada seorang kawan. Selesia pidatoku, ia mengulangi lagi acara itu. Kali ini aku menjalankan peranku tanpa petunjuk lagi. Kilasan kamera di waktu itu dan ke luarlah judulnya di surat kabar " Lihatlah Sukarno lagi-lagi mencicipi wanita". (Cindy Adams. 1966 : Hal. 427).

Sebuah cerita yang menarik betapa pemikiran Sukarno pada waktu itu menggambarkan sudah sangat "maju" nya pemikiran dia melebihi pemikiran orang-orang Indonesia atau lebih umum melebihi budaya ketimuran pada waktu itu atapun saat ini. Bayangkan saja, budaya ketimuran sudah tentu tidaklah akan melakukan hal-hal yang dianggap tabu seperti ini. Sukarno malah lebih memilih menyesuaikan diri dengan budaya orang lain dibandingkan budayanya sendiri (Pen. Budaya ketimuran). Tak bisa dibayangkan jika peristiwa itu dialami oleh Presiden yang sekarang menjabat maka sudah barang tentu akan menjadi bahan hujatan media masa dan masyarakat umum. Tapi beliau dengan percaya dirinya menceritakan dalam buku biografinya itu. 

Masih dalam buku tersebut, Sukarno melontarkan pemikirannya yang kontroversial mengenai pentingnya peran para pelacur untuk menjadi mata-mata di dunia demi kepentingan politiknya. 

Pelacur adalah mata-mata paling baik, di dunia. Aku dengan senang hati menganjurkan ini kepada setiap pemerintah. Dalam gerakan PNI-ku di Bandung terdapat 670 orang wanita pelacur, dan mereka adalah anggota yang paling setia dan patuh dari pada anggota yang lain yang pernah ku ketahui. Hasilnya mengagumkan dalam pekerjaan ini. (Cindy Adams. 1966: Hal. 113).

Sungguh ironis jika cara-cara ini dilakukan oleh para pemimpin zaman sekarang. Tidak terbayang jika mereka melakukan hal ini sebagaimana yang telah di lakukan oleh Sukarno. Maka sudah barang tentu hancurlah moral para pemimpin seperti itu. Alih-alih membuat sadar para pelacur itu akan tetapi malah Sukarno manfaatkan mereka sebagai mesin politiknya demi kepentingannya sendiri. 

Namun, tak bisa dipungkiri bahwa dunia politik zaman sekarang ataupun zaman dahulu tetap saja pada dasarnya adalah menghalalkan segala cara demi mendapatkan dan mempertahankan kekuasaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar